Tag Archives: Work Life

Mungkin

24 Nov

Mungkin suatu saat nanti saya akan menyesali keputusan saya ini

Ketika saya beranjak 30 tahun dan merasa belum melakukan apa pun untuk mewujudkan mimpi saya
Ketika pekerjaan saya perlahan-lahan menyita waktu dan pikiran saya hingga akhirnya saya tidak memiliki kehidupan lain
Ketika perasaan berada di ‘rumah’ telah selamanya hilang dari jiwa saya
Ketika uang tak lagi mampu membeli kebahagiaan sekalipun sifatnya temporer

Atau mungkin saya hanya sedang lelah, baik secara fisik, mental, maupun batin
Mungkin saya hanya belum siap menjalani semuanya, terlalu cepat dan terlalu prematur
Mungkin saya hanya butuh sedikit spasi dan waktu, untuk menenangkan diri dan memikirkan kembali semuanya

Ah, terlalu banyak kemungkinan dalam posisi saya yang abu-abu saat ini
Apa pun itu, saya hanya berharap yang terbaik, semoga kemungkinan yang baik saja yang terjadi pada saya dan semoga saya tidak lagi menjadi korban atas pilihan saya sendiri… Semoga…

Hidup Dalam Mimpi

30 Nov

“Lo tahu nggak sih berapa banyak orang di luaran sana yang pengen ada di posisi lo? Banyak banget sen yang dying to get a job, apa pun itu jenis pekerjaannya, sementara lo dengan berbagai jenis peluang yang ada, lo malah menyia-nyiakannya aja gitu.”

Kalimat itu diucapkan oleh seorang teman ketika saya bercerita bahwa saya baru saja menolak beberapa tawaran pekerjaan yang datang pada saya.

Semuanya berawal dari keisengan saya. Iya, kalau lagi tidak ada kerjaan, saya memang suka iseng, mulai dari iseng SMS nanya kabar ke mantan pacar (yang sering banget bikin mereka geer setengah mati kalau saya masih menyimpan ‘perasaan’ pada sang mantan) sampai iseng ngirimin CV saya ke perusahaan-perusahaan yang sedang membuka lowongan pekerjaan. Berbekal keisengan yang selanjutnya, saya pun mulai menghadiri panggilan interview dari beberapa perusahaan yang saya kirimi CV dengan sedikit harapan bahwa saya akan jatuh cinta pada perusahaan itu atau mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan saya atau setidaknya, biarkan saya menemukan jodoh saya di perusahaan itu (abaikan yang terakhir ini).

Ah ya, seperti yang sudah bisa ditebak dari pengalaman-pengalaman terdahulu, keisengan selalu membawa saya pada masalah. Salah satunya adalah beberapa perusahaan tersebut jatuh cinta pada image yang saya tampilkan ketika sedang interview, lalu menawari saya pekerjaan yang… selalu berujung pada penolakan dari saya.

Sssttt… sebenarnya masalah ini rahasia ya. Saya tidak menceritakan soal ini ke keluarga saya karena saya tahu pasti mereka pasti tidak akan mengerti kenapa saya menolak tawaran kerja yang datang pada saya karena tepat seperti apa yang dikatakan teman saya, di luaran sana banyak sekali orang yang mati-matian menginginkan sebuah pekerjaan, tapi saya yang mendapat beberapa tawaran malah menolaknya.

Alasannya adalah karena saya belum menemukan pekerjaan yang cocok untuk saya. Tidak… jangan pernah berpikiran bahwa definisi pekerjaan yang cocok di mata saya adalah pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, membuat saya mampu membeli barang-barang branded setiap hari, dan bisa membawa saya keliling dunia setahun sekali. Saya tidak menilai sebuah pekerjaan semata-mata dari segi finansial saja.

Alasannya adalah karena saya merasa di usia saya yang 23 tahun ini saya tidak benar-benar mengejar mimpi saya. Sepanjang hidup saya, saya memiliki banyak mimpi yang ingin saya kejar, saya juga selalu tahu apa yang saya inginkan dalam hidup saya hanya saja… saya tidak pernah benar-benar merasa telah berbuat sesuatu untuk mengejar mimpi saya.

Seperti mimpi saya ingin menjadi pengacara yang tanpa alasan yang jelas berakhir begitu saja karena lulus SMA saya malah memilih untuk kuliah di jurusan manajemen ketimbang di jurusan hukum.

Seperti mimpi saya menjadi seorang penulis yang berakhir begitu saja karena saya tidak pernah konsisten menulis dan semua ide cerita saya selalu saja berakhir pada konsep tanpa pernah saya sentuh dan kembangkan sedikit pun.

Seperti mimpi saya untuk ini dan itu yang berakhir begitu saja karena saya memang tidak pernah melakukan sesuatu hal untuk itu. Padahal kenyataannya tidak ada hambatan yang cukup berarti yang dapat menghentikan saya mengejar mimpi saya. Padahal (Seperti apa yang dikatakan teman-teman saya) saya memiliki potensi untuk hidup dalam mimpi saya. Padahal… ah sudahlah.

Tanggal 27 Oktober kemarin, di hari ulang tahun saya yang ke 23, saya memutuskan untuk menghabiskan waktu sendirian, merenung mengenai perjalanan hidup yang telah saya lewati selama 23 tahun dan menyusun visi masa depan berbekal keinginan untuk mulai serius terhadap hidup saya sendiri karena saya sudah tidak muda lagi.

Saat itulah saya mulai menyadari (atau lebih tepatnya menyesali) diri saya yang tidak pernah benar-benar serius akan mimpi saya. Harusnya segudang mimpi yang dibekali oleh cukup banyak kemampuan dapat membawa saya hidup dalam mimpi saya dalam artian yang sebenarnya, bukan malah membiarkan mimpi-mimpi tersebut tetap menjadi angan-angan yang tidak pernah menjadi kenyataan.

Makanya, saya membuat keputusan untuk berhenti bermain-main dan mulai serius terhadap keinginan saya. Makanya, saya menolak pekerjaan tersebut karena saya tahu bukan pekerjaan tersebut yang sesuai dengan keinginan saya. Makanya, saya lebih memilih untuk bertahan dalam wilayah abu-abu saya yang penuh dengan ketidakpastian ketimbang memilih satu warna yang saya tahu pasti tidak ingin saya pilih.

Saya menolak tawaran tersebut bukan karena saya menolak rejeki, atau memasang standar yang tinggi, atau idealis, atau apapun itu. Saya menolak tawaran tersebut karena saya tidak ingin bangun di usia saya yang menginjak kepala 3 suatu saat nanti, lalu mulai menyesali diri karena saya tidak pernah benar-benar berusaha mengejar apa yang saya inginkan. Saya tidak mau menjadi bagian dari golongan mereka yang mapan finansial karena pekerjaannya tapi tidak pernah bahagia akan itu. Saya tidak mau membangun sebuah jembatan dengan tembok yang tinggi sebagai pemisah antara realita tempat saya hidup dengan keinginan yang hanya sebatas mimpi saja.

“Emangnya lo yakin mimpi lo bakalan bikin lo bahagia kalau lo mampu ngewujudinnya?”

Though question. Saya menghembuskan napas saya menghadapi pertanyaan ini, tersenyum, lalu menjawab “setidaknya saya sudah berusaha”.

Ternyata Resign Itu…

18 Feb

Ternyata resign dari tempat kerja gue nggak segampang yang gue kira sebelumnya. Nggak nyangka banget kalo gue bakalan ngerasa sangat kehilangan kerjaan gue, kangen banget sama kantor gue.

Ternyata resign dari tempat kerja gue adalah salah satu hal tersulit untuk dilewati. Omelan dari bos, otak yang capek mikir, pulang malem, stres dikejar deadline, sampai bangun pagi-pagi untuk kerja mendadak menjadi hal yang jauh lebih berharga dan lebih berarti buat gue.

Ternyata resign dari tempat kerja gue adalah hal yang sulit. Sangat sulit. Meskipun gue udah berusaha keras untuk nggak memikirkannya. Meskipun gue udah berusaha menghibur diri gue. MEskipun gue udah berusaha sangat keras untuk menyembunyikan rasa kehilangan gue.

Tapi semua usaha itu percuma…

Karena in the end, gue tumbang juga. Merasa beneran kehilangan separuh nyawa gue setelah gue melepas kerjaan gue. Dan akhirnya gue cuma bisa pasrah, pasrah menerima keputusan gue yang udah terlambat dan nggak mungkin untuk ditarik lagi, pasrah dengan sedikit kepercayaan bahwa akan ada sesuatu yang jauh lebih baik, jauh lebih besar menunggu gue di depan sana.

Untungnya semuanya bisa terasa lebih gampang (meski tetap terasa berat) dengan dukungan teman-teman yang sangat positif dan kehadiran seseorang yang benar-benar baru dan tak disangka-sangka dalam kehidupan gue.

Dan untuk semua kekuatan yang udah kalian berikan, gue cuma mau bilang terima kasih, terutama untuk kamu (yang pasti tahu siapa 😉 )

Resign

10 Feb

Berawal dari bergabungnya gue di sebuah station radio anak muda di Bandung. Nggak pernah kepikiran banget untuk kerja di situ, waktu itu gabung cuma dalam klub pendengarnya aja, itu juga bukan karena gue pendengar setia radionya, tapi lebih karena gue pengen banget kenalan sama seorang penulis yang juga penyiar di radio itu.

Nggak nyangka banget kalo keisengan gue akhirnya membuahkan hasil. Nggak lama setelah itu, gue mulai kerja di team off air. Dengan gaji yang pas-pasan (atau bahkan kadang nggak layak), tapi gue dibayar sama pengalaman yang sangat berharga. Seneng banget bisa kerja di tempat itu, bisa nemuin banyak pengalaman, kerja dengan banyak orang-orang profesional, ketemu banyak teman baru, dan pastinya bisa kerja dengan banyak artis.

Udah gitu, gue akhirnya memutuskan untuk keluar. Pergaulan di lingkungan kerja yang udah nggak cocok lagi sama gue yang akhirnya jadi alasan gue hengkang dari radio itu.

Sempet nganggur dan bingung cari kerja apa. Sempet putus asa juga karena setelah resign nggak dapet2 kerja, sampai akhirnya waktu gue lagi nunggu giliran interview di sebuah EO yang juga merangkap sebagai management team, ketemu sama seorang model lokal dan akhrnya ditawarin untuk jadi manajernya. Akhirnya bekerjalah gue sebagai manajer seorang model. Pekerjaan yang kalau dilihat dari jabatannya terdengar bergengsi tapi sebenarnya job desk sama aja kayak kacung. Pekerjaan yang sangat melelahkan karena terlalu banyak waktu yang terbuang untuk menunggu. Pekerjaan yang memaksa gue bertemu dengan banyak banget manusia hedonis di dalamnya.

Dan akhirnya gue nggak tahan juga. Memilih untuk meninggalkan pekerjaan itu, membantu seorang sahabat dengan butiknya, sekalian cari kerja lain. Kerjaan yang beneran sesuai dengan minat gue. Kerjaan yang bikin otak gue produktif.

Nggak harus nunggu cukup lama sampai akhirnya gue dapetin kerjaan yang gue mau. Yes, dalam hal kerjaan gue emang orang yang cukup beruntung. Bekerja di sebuah EO yang spesialis di bidang WO. Pekerjaan yang benar-benar menyenangkan karena selain bikin otak gue terus berpikir dan menjadikannya produktif, dengan bayaran yang lebih dari lumayan.

Banyak banget hal yang gue pelajarin dari kantor gue. Banyak banget suka dan duka yang dilewati. Bertemu dengan banyak banget pekerja keras yang sangat menyenangkan.

Tapi…

In the end gue menyerah juga. Nggak mau lagi memaksakan diri untuk kerja sambil kuliah. Karena hidup adalah pilihan dan kali ini gue memilih untuk…

RESIGN