Tag Archives: worklife

Sampai Nanti

11 Nov

“Just because you feel like giving up, doesn’t mean you have to give up.”

 

Kalimat singkat dari seorang teman di tengah secangkir kopi panas dan hujan kota Jakarta malam itu terasa sangat menampar bagi saya.

Belakangan hidup terasa lebih berat. Definisi hidup di sini maksud saya adalah work life, bukan love life, sebab, selain love life saya cukup memuaskan, saya juga bukan tipe orang yang terlalu memikirkan soal love life.

Saya sangat mencintai pekerjaan saya, dan tidak pernah sekalipun dalam hidup saya, saya meragukan kecintaan saya akan hal itu. I love my job even tho it wasn’t the job I used to dream of when I was younger.

 

Tapi rupanya cinta saja tidak pernah cukup untuk membuat saya tetap bertahan.

Pernah merasa sudah memberikan yang terbaik tapi tetap dinilai tidak serius?

Pernah merasa penilaian yang diberikan sangat subjektif hanya berdasarkan kedekatan?

Pernah merasa bahwa value yang diberikan oleh tempat kamu bekerja tidak sama dengan value yang kamu miliki?

Pernah merasa sekencang apapun larimu akan terasa percuma karena terdapat perbedaan visi yang sangat signifikan antara kamu dengan tempat kamu bekerja?

Belakangan itulah yang saya rasakan atas kehidupan pekerjaan saya. Bangun pagi di hari kerja mulai terasa menantang karena saya enggan berangkat ke kantor. Memikirkan sesuatu yang strategis tidak lagi terasa menyenangkan. Menghasilkan sesuatu pun tidak lagi terasa membanggakan, melainkan hanya rutinitas penggugur kewajiban supaya yaa… setidaknya dari kelakuan saya yang dinilai tidak serius dan kompetensi saya yang dinilai pas-pasan ini, saya tidak dianggap ngantor cuma untuk numpang internetan sambil main game dan tiap bulan dikasih gaji buta lah.

Akhir-akhir ini rasanya sangat ingin menyerah. Tidak terhitung lagi berapa banyak keinginan untuk pura-pura sakit supaya tidak harus ngantor melintas di pikiran ketika bangun tidur, apalagi pikiran untuk mengetik surat resign dengan modal nekat tanpa benar-benar yakin akan melakukan apa setelah tidak lagi bekerja kantoran.

“I’ll leave… I can’t handle it anymore,” itu kata saya pada seorang teman sebelum akhirnya dia mengeluarkan kalimat yang terasa sangat menampar saya.

“Masalah nggak selesai dengan lo nyerah, potensi menambah masalah sih iya.”

Saya terdiam mendengar kalimat teman saya itu.

Di satu sisi saya sangat setuju dengan kalimat teman saya itu. Tidak pernah ada jaminan bahwa masalah akan selesai ketika saya memutuskan untuk menyerah, potensi untuk menambah masalah baru malah sangat tinggi. Di sisi lain, saya pun mempertanyakan diri saya sendiri, apakah ada jaminan bahwa masalah akan selesai dan keadaan jadi lebih baik? Tidak juga sih.

“I know you ya, Sen. It’s not like kita baru kenal kemarin sore dan gue nggak tahu apa-apa soal lo. You’re not the kind of woman who give up easily, jadi buang jauh-jauh deh pikiran mau nyerah itu.”

“Talk is cheap.”

“Yeah I know, but you’re the one who told me that you love your job right? So stay at it for better or worse… at least until you found something’s better. I know it might sounds naïve but if you really love what you do, this problem is just a small piece of cake.”

 

Pada akhirnya saya mengangguk dan memutuskan untuk berusaha percaya bahwa jika saya benar-benar mencintai pekerjaan saya, maka masalah seperti ini hanya masalah kecil yang tidak ada apa-apanya untuk saya.

Sampai kapan?

Mungkin sampai saya menemukan penawaran yang lebih baik.

Mungkin sampai akhirnya lingkungan membuat saya menjadi seperti mereka.

Atau mungkin sampai saya benar-benar lelah dan mengibarkan bendera putih di atas meja kerja saya.

Sampai kapan pun itu, wish me luck ya guys!