Tag Archives: Life Style

Ini Soal Aktualisasi Diri

4 Jan

“Arrghh… I hate it when he did that!”

Seruan mendadak dari seorang teman spontan membuat saya menoleh padanya. Matanya sibuk memandangi sebuah jam di tangan kirinya. Saya mengenal jam tersebut. Beberapa bulan yang lalu, ketika sedang berjalan-jalan di sebuah mall, teman saya ini melihat jam tersebut dan langsung merasa jatuh cinta, sayangnya sebagai masyarakat yang hidup di dunia bagian realita, untuk mampu membeli jam tangan tersebut, teman saya perlu menabung dan sebagai manusia yang hidup di kota besar dan kapitalis sejati, menabung tentu saja tidak akan pernah menjadi satu hal yang mudah mengingat dengan menabung berarti jatah hang out di kafe mahal perlu dikurangi.

Mengetahui usaha mati-matiannya (*berlebihan) untuk memperoleh jam tangan tersebut, saya tentu saja merasa heran kenapa bisa teman saya ini tidak terlihat senang dan malah cemberut ketika jam tersebut akhirnya berada di tangannya.

Antara memiliki kemampuan membaca pikiran atau memang ekspresi saya yang terlalu gampang ditebak, teman saya pun mulai mencurahkan kekesalannya karena pacarnya yang dari segi sosial ekonomi berada di atasnya membelikan jam tangan impiannya tersebut. Menurut teman saya, pacarnya tersebut sudah lancang dan kurang ajar karena dengan mudahnya dan tanpa permisi dulu yang bersangkutan membeli mimpi teman saya tersebut.

“Loh bukannya lo harusnya seneng karena akhirnya lo bisa dapat jam tangan itu? Secara kalo lo nabung sendiri gue rasa baru akhir tahun ini kali lo beli tuh jam, keburu nggak musim.”

“Iya sih! Tapi bukan itu masalahnya, Sen. Masalahnya adalah selama proses gue mendapatkan jam tangan tersebut, gue mulai sadar kalo itu bukan sekedar jam tangan, itu adalah mimpi dan cita-cita yang harus gue raih. Tujuan gue akhirnya berubah, bukan lagi untuk beli jam itu tapi untuk belajar konsistensi dan tegas sama diri gue sendiri, supaya pada akhirnya gue bisa mendapatkan apa yang gue mau. Gue juga pengen banget ketika gue ngelihat jam tangan itu, yang gue lihat bukan cuma waktu tapi betapa hebatnya diri gue karena akhirnya bisa memperoleh apa yang gue mau dengan usaha gue sendiri, bukannya malah ngelihat laki gue yang hidupnya serba enak dan bisa membeli mimpi gue dengan gampang tanpa harus usaha mati-matian kayak gue. Apa yang gue lihat di jam tangan ini sekarang bukannya bikin gue bangga, tapi malah bikin gue sakit hati.”

Saya tertohok mendengar pernyataan teman saya tersebut. Kalimat tersebut mengingatkan saya akan reaksi Samantha ketika Smith memberikannya cincin berlian yang menjadi incarannya dalam sebuah acara lelang, reaksi yang hampir sama dengan reaksi teman saya ini.

Pembicaraan tersebut membuat saya berpikir bahwa kita tidak akan pernah bisa menilai sebuah barang hanya berdasarkan label yang tertera atau nominalnya.

Pada akhirnya, sebuah barang mencerminkan pemakainya.

Sebuah barang bisa menjadi cerminan mengenai status sosial dan ekonomi pemakainya. Tas Hermes misalnya, mencerminkan mengenai status sosial dan ekonomi minimal A bagi pemakainya, sebab tanpa harus melihat nominalnya pun, saya rasa masyarakat dengan kelas sosial dan ekonomi menengah (apalagi bawah) akan merasa minder memasuki outletnya yang mewah dan dijaga oleh satpam yang akan memandang sebelah mata orang yang memasuki outlet tersebut dengan pakaian tidak gaya yang akan mengundang komentar negatif dari para police fashion.

Sebuah barang juga bisa mencerminkan mengenai karakteristik pemakainya. Saya kurang ahli dalam hal ini, tapi setidaknya saya bisa melihat apakah seorang perempuan masuk dalam kategori feminin atau boyish dari apa yang dikenakannya. Atau apakah seseorang pintar menjaga kebersihan atau dekil dari seberapa bersih barang-barang yang dikenakannya.

Sebuah barang bisa bercerita banyak. Selalu ada cerita yang tersimpan di balik sebuah barang, cerita yang akan mengingatkan pemakainya akan sesuatu, lalu membaginya kepada teman-temannya atau hanya mengundang sebuah emosi muncul di permukaan pemiliknya ketika secara tak sengaja kenangan akan barang tersebut muncul.

Maka dari itu, ketika teman saya mengekspresikan kekecewaannya, saya lantas bisa mengerti reaksinya tersebut. Barang tersebut diharapkan teman saya dapat mengekspresikan dirinya. Jam tangan itu seharusnya dapat menyimpan cerita mengagumkan akan perjuangan teman saya, seorang wanita muda perkotaan yang boros dan sangat kapitalis tapi harus rela mengurangi jatah hang out dan belanjanya demi mendapatkan jam tangan tersebut. Apa yang dikenakan teman saya pada tangan kirinya seharusnya dapat mengingatkan dua hal pada teman saya ketika meliriknya: waktu dan perjuangan. Dan tentu saja, hal-hal tersebut tidak akan pernah terjadi karena jam tersebut diperoleh dari hasil pemberian.

Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Teman saya ini tentu saja tidak akan bisa menolak pemberian pacarnya, kecuali jika teman saya ini berniat mencari masalah dan mengakhiri hubungannya itu.

Setidaknya pengalaman tersebut memberikan saya dan teman saya pelajaran bahwa ketika menginginkan sesuatu untuk diri sendiri, alangkah lebih baik kalau hal tersebut dipendam rapat-rapat agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi.

Dan sedikit nasehat untuk para lelaki di luaran sana, ketika pacarmu menginginkan sesuatu, jangan ambil keputusan seenaknya untuk membelikan barang tersebut, cari tahu dulu apakah pasanganmu itu ingin kamu membelikannya atau ingin dia membelinya sendiri.

P.S. Gambar diperoleh dari http://gettyimages.com

Perkara Kaus

19 Nov

Beberapa hari yang lalu, seorang teman menawarkan saya untuk membuat customize shirt dengan harga yang didiskon 50% khusus untuk saya. Saya yang seorang impulsive buyer sejati tentunya sangat tertarik dengan tawarannya tersebut, sampai akhirnya teman saya itu bertanya mengenai slogan apa yang ingin saya cetak di kaus tersebut.

Beberapa dari kamu mungkin akan berpikir bahwa ini hanyalah sebuah kaus, lalu memasang slogan apa pun yang ada di pikiran kalian pertama kali, tapi buat saya, ini bukan hanya sekedar kaus. It’s not just a shirt, it’s about self labeling.

Lebay? Mungkin juga sih, tapi beberapa hari sebelumnya (eh apa beberapa minggu sebelumnya yah?) saya melalui pengalaman mencela customize shirt.

Jadi waktu itu saya sedang ngopi-ngopi cantik dengan seorang sahabat di sebuah mall yang lumayan happening di Bandung (sok gaul!). Di tengah-tengah obrolan rada serius kami mengenai pekerjaan, konsentrasi saya terganggu dengan kehadiran seorang anak laki-laki memakai kaus bertuliskan “Ganteng Seperti Ayahnya”.

Saya: “Bok, lo lihat deh anak itu?”

Dia: “Ih bokapnya pede banget ya?”

Saya: “Bapaknya yang narsis, anaknya yang jadi korban.”

Dia: “Kalo gue punya anak jangan sampai deh dikasih baju yang begituan, kayak nggak ada baju lain yang lebih bagus aja desainnya.”

Okay, saya tahu pembicaraan tersebut terdengar judgmental, tapi yang ingin saya sampaikan di sini adalah: untuk beberapa orang (seperti saya dan sahabat saya misalnya), desain sebuah kaus turut berperan aktif dalam menentukan kesan apa yang ingin disampaikan oleh si pemakai kaus tersebut.

Jadi ketika pikiran pertama saya jatuh pada slogan “Natural Born Bitch”, maka saya langsung membuang jauh-jauh pikiran tersebut. Pertama, karena saya tidak yakin bahwa saya seorang natural born bitch, saya hanya seorang perempuan yang sangat suka mempergunakan kelebihannya sebagai perempuan untuk mendapatkan beberapa kemudahan dalam hidup (seperti guess list dan free flow di sebuah club waktu saya masih muda, labil, dan gaul). Kedua, kalaupun saya memang seorang natural born bitch, saya tidak bangga sama sekali akan hal tersebut.

Slogan selanjutnya yang ada di pikiran saya adalah “Not Single But Available”. Lagi-lagi ide tersebut harus ditolak mentah-mentah mengingat konsekuensi yang (mungkin) akan saya terima setelah memakai kaus tersebut.

Setelah itu muncul berbagai jenis slogan dalam pikiran saya, slogan yang saya pikir akan menjadi lucu atau bagus untuk desain sebuah kaus, tapi pada akhirnya slogan tersebut berakhir pada kategori trash karena tidak ada satu pun slogan yang cukup bagus untuk saya pakai atau sangat merepresentasikan diri saya.

Perkara kaus tersebut membuat saya jadi berpikir jangan-jangan selama ini saya tidak benar-benar mengenali diri saya. Buktinya, untuk membuat sebuah slogan di kaus yang akan saya kenakan dan melabeli diri saya saja, saya kebingungan. Dan kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya? Saya langsung dilanda galau resah tak berarah karenanya, menguatkan image saya yang seorang drama queen ini.

Kemarin, seorang teman memberi ide untuk memasang slogan “Pelacur Ide” di kaus saya. Ide yang menurut saya sangat brilian karena (ugh, hate to say this) saya memang seorang pelacur ide yang sibuk membuat ide ini dan itu, tapi selalu berhenti pada tahap mengenali ide dan tidak pernah sukses memperkosa ide tersebut. Hey, pekerjaan saya kan memang membuat ide! (excuse)

Pelacur ide memang sebuah slogan yang sangat merepresentasikan diri saya sih, tapi lagi-lagi ide brilian teman saya itu saya masukan ke dalam kategori trash. Alasannya adalah karena saya sama sekali tidak bangga menjadi seorang pelacur ide dan saya sangat percaya bahwa apa yang kamu tulis adalah doa, dan saya tentu tidak senaif itu mendoakan diri saya untuk selamanya menjadi pelacur ide.

So guys, ada ide slogan apa yang sebaiknya saya pasang di kaus saya?

And if you were me, what kind of slogan you would like to put on your shirt?


Hi, Society!

1 Oct

“Ngakunya high class tapi kelakuannya low class banget!”

Itu seruan dari seorang teman begitu saya mengangkat telepon darinya. Obrolan (atau lebih tepat disebut curhatan?) pun berlanjut pada cerita teman saya tentang kekesalannya menghadapi lingkungan barunya yang sebagian besar diisi oleh orang-orang yang ngakunya berada pada piramid pergaulan paling atas alias high class tapi pada kenyataannya kelakuan mereka justru malah lebih terlihat seperti manusia yang berada pada kelas sosial rendahan alias kampungan.

Sebenarnya hal-hal yang seperti itu bukan hal yang baru bagi saya. Sudah sering sekali saya terpaksa atau secara tidak sengaja harus menghadapi kaum-kaum yang merasa dirinya high class tapi kelakuannya berbanding terbalik dengan pesan image yang ingin disampaikan oleh diri mereka. Saya, sama halnya seperti teman saya, selalu merutuk nggak jelas dan akhirnya terpaksa memendam emosi ketika harus berhadapan dengan orang-orang seperti itu, terutama jika saya berada pada pihak yang dirugikan, yaitu: pihak yang dianggap tidak cukup high class untuk diterima dalam pergaulan mereka.

Saya jadi ingat dulu, secara tidak sengaja dan entah bagaimana caranya, saya sempat masuk ke dalam sebuah gang yang dalam lingkungan kami terkenal sebagai gang jetset. Jika dilihat dari nama gangnya, pada awalnya saya kira mereka itu terdiri dari gang orang-orang kaya dengan pergaulan yang glamor – satu hal yang bukan saya banget, tapi ternyata setelah saya masuk ke dalam gang tersebut, isinya nggak semuluk apa yang saya bayangkan. Mereka ternyata nggak jauh beda dengan gang lainnya yang berada pada lingkungan yang sama dengan kami, malah saya lihat beberapa orang tertentu yang tidak termasuk dalam ‘level’ mereka memiliki kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan mereka. Satu-satunya yang membuat semua orang berpikir bahwa mereka adalah kumpulan orang-orang high class, adalah gaya mereka yang setinggi langit yang lalu setelah saya pikirkan belakangan ini, gaya itu memang sengaja mereka buat supaya mereka diakui di lingkungannya.

Pengalaman saya tersebut membuat saya curiga jangan-jangan hal seperti itu nggak cuma terjadi pada gang jetset di lingkungan saya tapi juga di lingkungan lainnya. Jangan-jangan, mereka yang selama ini ngakunya high class cuma memasang topeng supaya diakui di lingkungannya, padahal sebenarnya mereka jelas-jelas sedang menipu dirinya sendiri dan itu semua tercermin dari tingkah lakunya.

Atau jangan-jangan, mengutip kalimat seorang teman, mereka berlaku sok high class hanya karena mereka baru ‘jadi orang kota’. Baru nemu pergaulan high class. Baru diundang ke cocktail party (atau nggak pernah diundang tapi palingan cuma minum cocktailnya doang dan itu juga dapet traktiran dari salah seorang kenalan baru di tempat dugem). Baru mampu nongkrong di Starbucks padahal belinya cuma satu minuman untuk berdua. Baru dibeliin mobil sama orang tuanya. Baru dapet kerjaan di perusahaan ternama padahal gajinya pas-pasan. Baru… (isi tambahannya sendiri deh soalnya kalo saya tulis satu-satu, bakalan jadi panjang ajah ceritanya).

Ya… ya…, saya tahu saya terdengar judgmental tapi saya rasa perlakuan ini pantas diterima oleh mereka yang merasa dirinya high class padahal sebenarnya nggak dan lalu menganggap orang lain tidak pantas bergaul dengannya dengan alasan mereka tidak cukup high class cuma karena orang-orang yang mereka anggap tidak cukup high class itu memilih rantai pergaulan yang berbeda.

Ah tapi ya sudahlah, membahas soal ini memang nggak akan pernah ada habisnya. Saran dari saya siy: nikmati saja hidup kalian apa adanya, sebab hidup jauh lebih menyenangkan kalau kalian nggak harus susah-susah berpikir pada kelas sosial mana posisi kalian sekarang ini dan (apalagi) mengejar-ngejar kelas sosial tertentu yang kalian inginkan.

There are four varieties in society; the lovers, the ambitious, observers, and fools. The fools are the happiest. -Hippolyte Taine-

Gossip

29 Aug

819849_gossipKetowel sama statusnya seorang teman di Facebook yang menyatakan kalau godaan terberat selama bulan puasa adalah gosip. Setuju! Setuju banget! Mengingat salah satu ritual wajib di hampir setiap acara hangout saya dengan begitu banyak gang (tsah gang!) yang saya punya adalah bergosip, mulai dari gosip nggak penting seputaran seleb yang lagi booming kayak kasus Marshanda sekarang, sampai gosip seputaran orang-orang yang nyelebnya cuma di dunia saya dan teman-teman saya saja.

“Mau berita bagus, mau berita jelek, atau bahkan cuma berita yang seliweran nggak jelas, gosip itu tetap jadi acara wajib harian kalee!”

Nah yang di atas itu kutipan kalimat seorang teman yang lainnya.

Gosip emang hal paling menyenangkan untuk dilakukan. Mau mood lagi jelek, badan lagi capek, tulang berasa patah-patah, semangat hidup menurun (okay… mulai sounds too much!), gosip bisa bikin semua orang yang saya kenal maksudnya mendadak semangat.

Bergosip ria juga bisa bikin saya dan teman-teman saya lupa waktu. Terutama sama si ibu yang satu ini. Jadi inget nongkrong dahsyat sambil bergosip di Oh Lala Plaza Dago yang sekarang udah nggak ada dari jam 8 malem sampai adzan shubuh.

Nggak bisa ngelak deh kalau gosip adalah pemberi kontribusi terbesar terhadap dosa-dosa kecil saya selain ciuman. Tapi yah mau digimanain lagi ya… habisnya menyenangkan deh. Apalagi kalau gosipnya udah sampai di tahap kombinasi sama nyela, dijamin bisa bikin mood yang lagi ancur kembali menyemangat dan bisa bikin perut sakit gara-gara ketawa-ketawa.

Ya Allah… mudah-mudahan pengakuan dosa sekarang ini bisa mengurangi dosa saya yang numpuk itu.

Okay, back to the topic!

Bergosip emang menyenangkan banget buat pelaku tapi nggak buat korban, tapi buat saya gosip juga tetap ada etikanya juga dong ah. Jangan sampai gosip itu malah ntarnya jadi ‘doa’ yang nggak-nggak untuk si korban gosip.

Kayak dulu tuh, waktu si Zhe baru saja pulang dari perantauannya di luar negeri dan kita sama-sama kurang kerjaan, saya akhirnya menghabiskan hampir setiap hari barengan dia. Mulai dari nyalon sampai ngopi-ngopi cantik (secara kita suka kopi dan kita cantik). Nah entah kabar burung darimana, tiba-tiba saja mulai tersebar gosip kalau saya dengan Zhe lesbi. Buoookk… padahal waktu itu baik saya atau Zhe sama-sama udah punya pacar. Reaksi pertama denger gosip itu siy rada marah, tapi kalau dipikir-pikir lagi kemarahan yang nggak berguna juga mengingat gosip justru bakalan semakin panas kalau sang korban marah, akhirnya aksi yang paling pas yang saya dan Zhe lakukan adalah diam. Ternyata apa kata mereka soal diam itu emas ada benarnya juga.

Tapi buat saya siy masalah gosip soal orientasi seksual yang menyimpang seperti yang terjadi pada saya masih nggak terlalu parah dibandingin sama gosip yang menimpa seorang teman saya, si neng geulis yang profesinya model dengan pergaulan dunia hitam kelas kakap.

Jadi ceritanya waktu itu, secara nggak sengaja saya bertemu teman saya yang lainnya. Bukannya tanya kabar atau basa basi busuk lainnya, hal pertama yang dia bilang adalah kabar kalau teman saya, si neng geulis itu meninggal. Saya shock dong. Langsung tanya banyak, mulai dari kapan sampai kenapa.

Ternyata menurut kabar burung yang beredar (eh tanya dong, kenapa yah judulnya kabar burung?) si neng geulis yang satu itu meninggal sebulan yang lalu gara-gara over dosis. Masuk akal juga siy mengingat pergaulan si neng geulis satu itu yang lumayan menggoda eh… parah maksudnya.

Gosip yang masuk akal ditambah ekspresi lebay teman saya yang sangat meyakinkan akhirnya sukses bikin saya percaya gosip murahan itu.

Nggak lama kemudian, sekitaran dua atau tiga hari setelah gosip tersebut beredar, saya dikejutkan oleh fakta bahwa si neng geulis ini masih hidup dan sehat-sehat saja. Coba diulang: si neng geulis yang katanya meninggal gara-gara over dosis ini masih hidup dan sehat-sehat saja. Malahan saya ketemu dia lagi sibuk belanja di sebuah mall yang lagi hip di Bandung.

Saya siy nggak berani menyampaikan gosip itu ke sang korban langsung, tapi kabarnya waktu ada seorang teman yang lain menyampaikan gosip itu, si neng geulis langsung marah banget dan ngerasa sedih. Ya iyahlah yah, siapa juga yang nggak ngerasa marah atau sedih kalau digosipin mampus?

Moral of the storynya? Lanjut gosip lagi yuuuukkk!!!

Whoever gossips to you will gossip about you.  ~Spanish Proverb

P.s. gambar diambil dari http://sxc.hu

Bulan Puasa Ini…

10 Sep

Kadang gue dan Zhe ngerasa bulan puasa membosankan banget. Umm… bukannya gue dan Zhe manusia laknat dan kafir yang jauh dari TUhan cuma aja untuk kedua wanita metropolitan yang udah biasa dengan kehidupan kota, bulan puasa itu kadang menyiksa banget.

BUkan… bukan gara-gara kita setan dan setan diiket bulan puasa. Bukan juga gara-gara kita harus menahan lapar dan haus apalagi nahan hawa napsu birahi karena itu sama sekali bukan masalah buat kita.

Tapi yang bikin kita tersiksa adalah… kurangnya hiburan selama bulan puasa, apalagi mengingat kerjaan menumpuk sangat dan situasi gue dan Zhe yang lagi rada-rada depresi.

Mau karaokean tutup. Padahal karaoke adalah cara terbaik untuk meghilangkan stress. Bisa nyanyi-nyanyi ga jelas dengan suara yang pas-pasan sangat bantu untuk menghilangkan stress. TApi kenapa harus ditutuuuuppp selama bulan puasa??!

Mau gila-gilaan dengan hang out di tempat clubbing, nge-dance sambil mencari pria-pria brengsek untuk diajak dance hari itu, ngasih nama dan nomer tlpon palsu terus besok paginya bangun, sedikit pusing dan bertingkah sok-sok innocent sangat bantu dalam menghilangkan stress. Tapi lagi-lagi tempat clubbing tutup di bulan puasa.

Mau nonton juga rada was-was karena takutnya ada adegan yang bikin puasa batal dan lagian film yang lagi diputer sekarang nggak ada yang rame.

Mau shopping juga males banget begitu ngelihat antrian sampe subuh. Lagian males aja mengingat di Indonesia menjelang hari raya begini suka dijadiin ajang festival konsumsi dan males kena cap sebagai salah satu peserta festival konsumsi.

Mau ke amusement park juga males aja klo puasa, bikin capek nggak jelas yang akhirnya bikin batal juga puasanya.

Hasilnya?

Gue dan Zhe makin stress. Depresi akut. Bicthing so many things in our life, mulai dari laki yang seenaknya aja datang dan pergi, kerjaan yang nggak banget, klien-klien yang kebanyakan om-om genit yang nggak banget, masalah keluarga, sampe masalah-masalah kecil yang sebenernya nggak penting banget buat dibahas.

Kita stress. Tolong… Tolong siapa pun, lepaskan kita dari kebosanan ini… Cause we’re dying… hixhix