“Arrghh… I hate it when he did that!”
Seruan mendadak dari seorang teman spontan membuat saya menoleh padanya. Matanya sibuk memandangi sebuah jam di tangan kirinya. Saya mengenal jam tersebut. Beberapa bulan yang lalu, ketika sedang berjalan-jalan di sebuah mall, teman saya ini melihat jam tersebut dan langsung merasa jatuh cinta, sayangnya sebagai masyarakat yang hidup di dunia bagian realita, untuk mampu membeli jam tangan tersebut, teman saya perlu menabung dan sebagai manusia yang hidup di kota besar dan kapitalis sejati, menabung tentu saja tidak akan pernah menjadi satu hal yang mudah mengingat dengan menabung berarti jatah hang out di kafe mahal perlu dikurangi.
Mengetahui usaha mati-matiannya (*berlebihan) untuk memperoleh jam tangan tersebut, saya tentu saja merasa heran kenapa bisa teman saya ini tidak terlihat senang dan malah cemberut ketika jam tersebut akhirnya berada di tangannya.
Antara memiliki kemampuan membaca pikiran atau memang ekspresi saya yang terlalu gampang ditebak, teman saya pun mulai mencurahkan kekesalannya karena pacarnya yang dari segi sosial ekonomi berada di atasnya membelikan jam tangan impiannya tersebut. Menurut teman saya, pacarnya tersebut sudah lancang dan kurang ajar karena dengan mudahnya dan tanpa permisi dulu yang bersangkutan membeli mimpi teman saya tersebut.
“Loh bukannya lo harusnya seneng karena akhirnya lo bisa dapat jam tangan itu? Secara kalo lo nabung sendiri gue rasa baru akhir tahun ini kali lo beli tuh jam, keburu nggak musim.”
“Iya sih! Tapi bukan itu masalahnya, Sen. Masalahnya adalah selama proses gue mendapatkan jam tangan tersebut, gue mulai sadar kalo itu bukan sekedar jam tangan, itu adalah mimpi dan cita-cita yang harus gue raih. Tujuan gue akhirnya berubah, bukan lagi untuk beli jam itu tapi untuk belajar konsistensi dan tegas sama diri gue sendiri, supaya pada akhirnya gue bisa mendapatkan apa yang gue mau. Gue juga pengen banget ketika gue ngelihat jam tangan itu, yang gue lihat bukan cuma waktu tapi betapa hebatnya diri gue karena akhirnya bisa memperoleh apa yang gue mau dengan usaha gue sendiri, bukannya malah ngelihat laki gue yang hidupnya serba enak dan bisa membeli mimpi gue dengan gampang tanpa harus usaha mati-matian kayak gue. Apa yang gue lihat di jam tangan ini sekarang bukannya bikin gue bangga, tapi malah bikin gue sakit hati.”
Saya tertohok mendengar pernyataan teman saya tersebut. Kalimat tersebut mengingatkan saya akan reaksi Samantha ketika Smith memberikannya cincin berlian yang menjadi incarannya dalam sebuah acara lelang, reaksi yang hampir sama dengan reaksi teman saya ini.
Pembicaraan tersebut membuat saya berpikir bahwa kita tidak akan pernah bisa menilai sebuah barang hanya berdasarkan label yang tertera atau nominalnya.
Pada akhirnya, sebuah barang mencerminkan pemakainya.
Sebuah barang bisa menjadi cerminan mengenai status sosial dan ekonomi pemakainya. Tas Hermes misalnya, mencerminkan mengenai status sosial dan ekonomi minimal A bagi pemakainya, sebab tanpa harus melihat nominalnya pun, saya rasa masyarakat dengan kelas sosial dan ekonomi menengah (apalagi bawah) akan merasa minder memasuki outletnya yang mewah dan dijaga oleh satpam yang akan memandang sebelah mata orang yang memasuki outlet tersebut dengan pakaian tidak gaya yang akan mengundang komentar negatif dari para police fashion.
Sebuah barang juga bisa mencerminkan mengenai karakteristik pemakainya. Saya kurang ahli dalam hal ini, tapi setidaknya saya bisa melihat apakah seorang perempuan masuk dalam kategori feminin atau boyish dari apa yang dikenakannya. Atau apakah seseorang pintar menjaga kebersihan atau dekil dari seberapa bersih barang-barang yang dikenakannya.
Sebuah barang bisa bercerita banyak. Selalu ada cerita yang tersimpan di balik sebuah barang, cerita yang akan mengingatkan pemakainya akan sesuatu, lalu membaginya kepada teman-temannya atau hanya mengundang sebuah emosi muncul di permukaan pemiliknya ketika secara tak sengaja kenangan akan barang tersebut muncul.
Maka dari itu, ketika teman saya mengekspresikan kekecewaannya, saya lantas bisa mengerti reaksinya tersebut. Barang tersebut diharapkan teman saya dapat mengekspresikan dirinya. Jam tangan itu seharusnya dapat menyimpan cerita mengagumkan akan perjuangan teman saya, seorang wanita muda perkotaan yang boros dan sangat kapitalis tapi harus rela mengurangi jatah hang out dan belanjanya demi mendapatkan jam tangan tersebut. Apa yang dikenakan teman saya pada tangan kirinya seharusnya dapat mengingatkan dua hal pada teman saya ketika meliriknya: waktu dan perjuangan. Dan tentu saja, hal-hal tersebut tidak akan pernah terjadi karena jam tersebut diperoleh dari hasil pemberian.
Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Teman saya ini tentu saja tidak akan bisa menolak pemberian pacarnya, kecuali jika teman saya ini berniat mencari masalah dan mengakhiri hubungannya itu.
Setidaknya pengalaman tersebut memberikan saya dan teman saya pelajaran bahwa ketika menginginkan sesuatu untuk diri sendiri, alangkah lebih baik kalau hal tersebut dipendam rapat-rapat agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi.
Dan sedikit nasehat untuk para lelaki di luaran sana, ketika pacarmu menginginkan sesuatu, jangan ambil keputusan seenaknya untuk membelikan barang tersebut, cari tahu dulu apakah pasanganmu itu ingin kamu membelikannya atau ingin dia membelinya sendiri.
P.S. Gambar diperoleh dari http://gettyimages.com
Recent Comments