Tag Archives: Books

Day 10: Follow Friday

13 Aug

Saya selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya menjadi seorang tokoh dalam buku. Menjadi seseorang yang kehidupannya dibaca oleh begitu banyak orang. Menjadi seseorang yang memuaskan imajinasi para pembaca dan penulisnya. Menjadi seseorang yang kisah hidupnya diatur oleh orang lain, dimana saya tidak pernah bisa memilih kisah hidup saya sendiri dan itu berarti selalu ada kemungkinan saya harus mengalami kejadian yang tidak saya sukai dan justru kejadian yang saya sukai malah dihilangkan. Menjadi seseorang yang hidupnya tergantung dari mood penulisnya.

Runaway Dwayne. Beberapa hari yang lalu dia mengagetkan saya dengan account @pecintajendela nya yang menjadi follower saya. Saya sebenarnya tidak begitu tertarik dengan account fiksi dalam twitter, apalagi mengingat account twitter fiksi biasanya hanya dibuat secara impulsif dan seiring dengan berjalannya waktu akan menghilang begitu saja dari ranah twitter, tapi Dwayne berbeda.

Kehadirannya di twitter membuat pertanyaan saya akan bagaimana rasanya hidup dalam sebuah buku terjawab. Curhatannya yang akhir-akhir ini memenuhi timeline saya sama sekali tidak memberikan kesan depresif, tapi malah membuat saya penasaran akan ceritanya dan bukunya yang (katanya) akan segera rampung.

Runaway Dwayne, seorang tokoh dari sebuah buku yang akan rampung yang kabur ke realita dan bercerita di twitter ketika penulisnya sedang lengah mengingatkan saya bahwa sehebat apa pun manusia, tetap saja tidak akan mampu bertindak seperti Tuhan. Sebab, ketika seseorang menulis kisah hidup tokohnya dalam buku, mood penulis tersebut mempengaruhi apa yang terjadi, berbeda dengan Tuhan yang sama sekali tidak moody.

Hey, hari ini Jum’at dan ritual #followfriday saya kali ini akan saya persembahkan untuk @pecintajendela. Follow her and you won’t regret 🙂

P.S. Gambar diambil dari gettyimages

Book Review Heart Block

13 Jan

Jadi dalam rangka mengembalikan semangat membaca saya yang sempat menurun drastis, saya akhirnya memutuskan untuk membaca buku terbaru dari kakak Okke sepatumerah yang berjudul Heart Block.

Heart Block menceritakan tentang Senja, seorang penulis yang sedang laris-larisnya tapi menghadapi sebuah masalah yang sangat vital: writer’s block alias mati ide. Untuk mengobati serangan writer’s block-nya tersebut, Senja memutuskan untuk berlibur di Ubud, Bali. Dan ya… mana ada sih cerita yang menjual kalo nggak ada cerita cintanya, di tempat itulah Senja dekat dengan seorang pelukis bernama Genta (yang entah kenapa di bayangan saya selalu muncul sosok Gaston something yang pacarnya Jupe itu).

Dari segi cerita, Heart Block sangat menarik, diadaptasi dari pengalaman nyata yang bisa terjadi pada siapa saja (saya yang seorang event coordinator ini juga sering banget menghadapi hal yang sama seperti Senja), hingga saya sempat berpikir ‘kakak okke mungkin sedang curhat’.

Dari segi bahasa, tutur kata yang digunakan sangat akrab dan mudah dicerna, setidaknya saya yang suka tiba-tiba terserang penyakit nggak fokus ini bisa mengerti setiap kata yang ada tanpa harus membaca berulang-ulang.

Tapi… tapi… dan tapi…

Saya kok merasa endingnya itu ya… duh! Nanggung aja. Belum lagi di pertengahan bab, saya yang sangat detail ini, merasa ada hal yang sepertinya terlewatkan hingga saya harus membalik halaman sebelumnya untuk memastikan saya tidak melewatkan satu halaman sekali pun.

Overall, novel Heart Block ini benar-benar menghibur dan berhasil mengembalikan semangat membaca saya. Well, mungkin beberapa bulan yang akan datang kakak Okke Sepatumerah akan mengeluarkan extended version seperti yang dilakukan Ika Natassa untuk Divortiare.

Luna Dan Gender

16 Nov

Salah satu hal yang paling saya sukai dari ulang tahun adalah karena bisa dipastikan saya mendapatkan buku dari seorang sahabat sebagai hadiah ulang tahun dan kalau lagi beruntung, saya juga mendapat beberapa buku dari teman yang lain. Well, have I told you that I’m so in love with books?

Jadi sebagai hadiah ulang tahun saya, Zhe yang tadinya berniat ngasih saya striptease kit (yang lalu urung karena barangnya lagi kosong di ak.sa.ra) akhirnya memberikan saya sebuah buku berjudul Luna dari Julie Anne Peters.

Luna by Julie Anne Peters

Cuma ada satu komentar soal Luna: BRILIAN! Luna menceritakan soal Liam, seorang lelaki yang merasa dirinya perempuan dan lebih memilih untuk dipanggil Luna, yang selalu menyelinap ke kamar saudara perempuannya setiap tengah malam untuk memakai pakaian, make up, dan barang-barang lainnya milik sang saudara perempuan hanya agar dia merasa benar-benar menjadi seorang perempuan, sesuatu yang tidak bisa dia lakukan ketika dia bersosialisasi di siang hari.

Membaca novel Luna ini membuat saya merasa sedang bercermin. Dalam tingkat yang tidak seekstrim Liam alias Luna, saya juga pernah merasakan ketidakpuasan saya akan gender yang Tuhan berikan kepada saya. Saya masuk dalam kategori newbie dalam soal menikmati gender saya, menikmati diri sebagai seorang perempuan.

Sebelumnya, ada masa dalam hidup saya dimana saya mempertanyakan mengapa selalu perempuan yang berada dalam posisi yang merugikan. Ada masa dalam hidup saya dimana saya merasa kehidupan menjadi seorang lelaki jauh lebih mudah dibandingkan menjadi seorang perempuan.

Let’s say, mulai dari lelaki yang hanya perlu berpakaian rapi hanya untuk terlihat ganteng, sementara perempuan harus menghabiskan begitu banyak uang untuk membeli banyak hal dan menghabiskan begitu banyak waktu untuk menata rambut dan memakaikan ini dan itu di wajah untuk terlihat cantik.

Belum lagi perempuan selalu mengalami rasa sakit, mulai dari sakit karena berjalan-jalan keliling mall dengan menggunakan sepatu hak tinggi, sakit ketika hamil dan melahirkan, sakit ketika PMS, dan bahkan sakit ketika kehilangan keperawanan – sesuatu yang harusnya menyenangkan tapi jadi sangat menyakitkan untuk kaum perempuan.

Belakangan saya baru belajar menikmati gender saya sebagai perempuan. Meskipun saya masih bisa menemukan sisi tidak enaknya menjadi seorang perempuan, tapi saya sekarang cenderung lebih bersyukur menjadi perempuan. Terutama di zaman sekarang ini, saat perempuan sudah bisa mendapatkan kursi di pemerintahan dan nggak harus sibuk surat menyurat untuk mendapatkan hak yang sama mengenai pendidikan seperti waktu zaman Kartini.

Belum lagi dengan kebebasan perempuan untuk berpakaian. Yah, at least cuma perempuan yang bisa jalan-jalan dan tetap terlihat cantik dengan pakaian yang seharusnya menjadi milik kaum lelaki, seperti jeans dan T-shirt. Lelaki tentunya tidak akan pernah bisa memakai rok dan baby doll lalu berkeliling mall kecuali jika ingin dilihat sebagai banci kaleng.

Ditambah dengan PMS sebagai alasan untuk cuti kerja (padahal alasan sebenarnya adalah malas), mendapatkan kursi ketika semua kursi di bis terisi penuh (meskipun gue ragu masih ada cukup banyak lelaki gentle yang bersedia memberikan kursinya), dan (this is what I love most) perempuan akan selalu mendapatkan cincin berlian ketika seorang lelaki melamarnya.

So with all of those privileges, how can I not enjoying my self of being a woman?

The Things He Said

15 Nov



Love Letters of Great Men

I just read Love Letters Of Great Men and I’m so enjoying that book until he comes right next to me and said:

“Sen, you don’t really need that book to inspire you on writing the next page of your project cause I’ll be the one who inspires you most.”

“Haha… give me one good reason why do I have to put you on my top inspirator list?”

“It’s simply to say because we do have ‘something’ in our relationship. With this ‘thing’ who needs love letter of great men cause I’m great enough for you, at least I’m great enough to makes you feels better right?”

“…”

“Sen, am I great enough for you? Cause I’ll try harder if I don’t.”

Can somebody tell me how to write mati gaya in English?

P.S. Suddenly feeling send this book to trash bin is not bad idea at all.