2016

1 Jan

2016 was a year full of lost and found experience for me.

Teman yang kehilangan cinta karena perbedaan agama, teman yang kehilangan pekerjaan karena berselisih paham dengan bosnya, teman yang kehilangan ayahnya karena serangan jantung, hingga yang membuat saya sangat sedih adalah sepupu terdekat saya yang kehilangan ayahnya secara tiba-tiba karena serangan jantung, padahal malam sebelum paman saya meninggal, beliau masih terlihat sehat dan baik-baik saja.

Di sisi yang lain, beberapa orang di sekitar saya mulai menemukan. Menemukan pasangan yang dinilai tepat dan paling mengimbangi setelah bertahun-tahun melajang, menemukan pendamping hidup yang sekarang sedang hamil, menemukan pekerjaan baru, hingga menemukan bakat yang selama ini terpendam.

Untuk saya sendiri…, saya cukup banyak kehilangan yang membuat saya belajar lebih ikhlas. Mulai dari kehilangan uang karena berinvestasi di tempat yang salah, kehilangan kerabat karena sakit, hingga kehilangan respek pada beberapa rekan di kantor.

Untuk yang terakhir itu, banyak sekali kejadian yang terjadi di kantor yang membuat saya cukup kecewa. Saya tidak akan menyalahkan tempat saya bekerja, mungkin saya saja yang sedang apes karena terpaksa bekerja dengan orang-orang yang kurang dewasa dari segi leadership, mungkin karena ekspektasi saya yang terlalu tinggi, atau mungkin karena saya saja yang tidak cocok dengan budaya perusahaan tempat saya bekerja. Tapi apapun itu, hal tersebut cukup membuat saya muak sampai akhirnya saya membuat keputusan terbesar dalam hidup saya selama ini.

Saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat saya bekerja selama 5 tahun ini. Ini bukan keputusan yang mudah dan cepat untuk saya ambil sebenarnya. Tidak sedikit yang mempertanyakan keputusan yang telah saya ambil ini. Ya memang sih… kalau dilihat dari luarnya saja, keputusan untuk mengundurkan diri setelah 5 tahun lebih bekerja di perusahaan BUMN dengan gaji yang lumayan terlihat terlalu berani dan kurang berhati-hati.

Saya sendiri sudah memperhitungkan segala potential lost yang akan saya alami ketika saya mengundurkan diri. Mulai dari yang sifatny materil hingga imaterial, teman-teman kantor yang cukup menyenangkan misalnya. Saya telah mempertimbangkan semua kemungkinan yang akan terjadi, bahkan hingga worst case scenario sekalipun, sampai akhirnya saya sampai pada keputusan bahwa kenyamanan hati adalah hal yang jauh lebih penting dibandingkan segala hal yang saya peroleh selama ini dari tempat saya bekerja.

Di sisi lain, saya juga menemukan banyak hal dalam hidup saya yang membuat saya lebih dewasa lagi.

Teman-teman yang selalu mendukung saya dan berkat mereka saya berhasil melewati tahun ini masih dengan keadaan waras dan baik-baik saja, partner yang sangat mengerti dan tidak henti-hentinya membuat saya jatuh cinta, hingga… pekerjaan baru yang memberi saya banyak harapan akan masa depan dan kenyaman hati yang jauh lebih baik lagi.

Pada akhirnya segala yang saya alami di 2016 membuat saya bersyukur dan belajar banyak.

Bersyukur dipertemukan dengan teman-teman yang dari segi kualitas jauh lebih baik meskipun kuantitasnya tidak banyak. Dari mereka juga saya belajar bahwa teman adalah keluarga yang dipilih, sehingga berhati-hatilah dalam memilih supaya hidup kamu dikelilingi oleh energi positif yang lebih banyak dibandingkan dengan energi negatifnya.

Belajar bahwa tidak semua hal dapat terjadi sesuai dengan rencana saya, tidak peduli seberapa keras usaha saya untuk mempersiapkan diri dan merencanakan segalanya dengan matang.

Belajar bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Dan terakhir…

Saya belajar bahwa life comes with no guarantee. Enjoy the moment, live life to the fullest, do your best, and let God do the rest. Saya percaya akan adanya karma, jadi tidak usahlah memikirkan soal membalas mereka yang telah menyakiti atau mengecewakan saya, biarkan karma yang mengajari mereka (dan juga saya) bahwa apa yang ditanam adalah yang dipetik.

2017? Pekerjaan baru. Kartu nama baru. Lingkungan baru. Harapan baru. What more can I say?

Selamat tahun baru!

Semoga tahun 2017 kamu (dan saya) secerah harapan saya akan masa depan!
Oh and here is a recap from my 2016

What If…

10 Oct

She sits at her favorite coffee shop while it’s raining outside. She lets her cup of cappuccino getting cold, what’s the point of drink it while its hot when nothing could makes her feel warm?
Her mind is full of thoughts about things she wish she did and didn’t. She keeps asking herself “what if?”
What if she didn’t get mad to her dad when he didn’t hear what she says?
What if she spent more time to call her dad in the middle of her daily routine just to make sure if he’s doing well?
What if she puts her ego down just to tell her dad that she loves him?
What if she didn’t took him for granted and appreciate every single time she spend with her dad?
What if she decided not to go to the movie and stayed at home with her dad to hug him and told him that God will be taken care of him well the night heart attack took her dad away?
“I miss you,” she whispers to herself while sipping her cappuccino. “Please be okay up there, dad!”
She wipes her tears.

It’s been 7 days and she still crying. 

She doesn’t know when will it stops. 

They say that time heals everything, but she knows that this time, nothing could heal the feeling of loosing someone she can’t replace, her dad.

It Might Be… love

18 Mar

It might be that cool sweater and converse you wore on the first time we’ve met at the coffee shop,

It might be those flirty texts we sent each other while we’re at work,

It might be the way you hold my hand at the mall,

It might be that stupid and childish jokes that never fails to make me laugh,

It might be the sound of your singing voice at David Foster’s concert,

It might be the smell of your perfume,

It might be the way you hug me when I’m not feeling good about things,

It might be the way you called me “blue”

It might be anything and I don’t really know why can you make me so in love with you

All I know is I’m in love with you

Like Po loves noodles, Minion loves banana, or Cookie Monster loves cookies

I love you more than I love my cup of morning coffee which I don’t mind not to have one since the day I found you

I love you for no particular reason,

So suddenly and unexpected

And that’s why M,

It’s called fall in love,

Because M…, you don’t force yourself to fall, it just happens

Tentang Kesendirian

9 Jan

  “Kenapa sih suka banget menyendiri di coffee shop?”

  Pertanyaan seorang teman melalui Whatsapp membuat saya tersenyum. Sore itu saya menolak ajakan bertemunya dengan alasan saya sedang menikmati me time saya di salah satu kedai kopi lokal favorite saya di Bandung.

Pertanyaan seperti apa yang teman saya tanyakan sore itu bukanlah pertama kali saya dengar. Tidak sedikit dari orang yang saya kenal, pernah mempertanyakan pertanyaan sejenis, tentunya dengan pilihan kata yang berbeda.

Jadi apa yang membuat saya senang menyendiri di sebuah kedai kopi? Continue reading

Sampai Nanti

11 Nov

“Just because you feel like giving up, doesn’t mean you have to give up.”

 

Kalimat singkat dari seorang teman di tengah secangkir kopi panas dan hujan kota Jakarta malam itu terasa sangat menampar bagi saya.

Belakangan hidup terasa lebih berat. Definisi hidup di sini maksud saya adalah work life, bukan love life, sebab, selain love life saya cukup memuaskan, saya juga bukan tipe orang yang terlalu memikirkan soal love life.

Saya sangat mencintai pekerjaan saya, dan tidak pernah sekalipun dalam hidup saya, saya meragukan kecintaan saya akan hal itu. I love my job even tho it wasn’t the job I used to dream of when I was younger.

 

Tapi rupanya cinta saja tidak pernah cukup untuk membuat saya tetap bertahan.

Pernah merasa sudah memberikan yang terbaik tapi tetap dinilai tidak serius?

Pernah merasa penilaian yang diberikan sangat subjektif hanya berdasarkan kedekatan?

Pernah merasa bahwa value yang diberikan oleh tempat kamu bekerja tidak sama dengan value yang kamu miliki?

Pernah merasa sekencang apapun larimu akan terasa percuma karena terdapat perbedaan visi yang sangat signifikan antara kamu dengan tempat kamu bekerja?

Belakangan itulah yang saya rasakan atas kehidupan pekerjaan saya. Bangun pagi di hari kerja mulai terasa menantang karena saya enggan berangkat ke kantor. Memikirkan sesuatu yang strategis tidak lagi terasa menyenangkan. Menghasilkan sesuatu pun tidak lagi terasa membanggakan, melainkan hanya rutinitas penggugur kewajiban supaya yaa… setidaknya dari kelakuan saya yang dinilai tidak serius dan kompetensi saya yang dinilai pas-pasan ini, saya tidak dianggap ngantor cuma untuk numpang internetan sambil main game dan tiap bulan dikasih gaji buta lah.

Akhir-akhir ini rasanya sangat ingin menyerah. Tidak terhitung lagi berapa banyak keinginan untuk pura-pura sakit supaya tidak harus ngantor melintas di pikiran ketika bangun tidur, apalagi pikiran untuk mengetik surat resign dengan modal nekat tanpa benar-benar yakin akan melakukan apa setelah tidak lagi bekerja kantoran.

“I’ll leave… I can’t handle it anymore,” itu kata saya pada seorang teman sebelum akhirnya dia mengeluarkan kalimat yang terasa sangat menampar saya.

“Masalah nggak selesai dengan lo nyerah, potensi menambah masalah sih iya.”

Saya terdiam mendengar kalimat teman saya itu.

Di satu sisi saya sangat setuju dengan kalimat teman saya itu. Tidak pernah ada jaminan bahwa masalah akan selesai ketika saya memutuskan untuk menyerah, potensi untuk menambah masalah baru malah sangat tinggi. Di sisi lain, saya pun mempertanyakan diri saya sendiri, apakah ada jaminan bahwa masalah akan selesai dan keadaan jadi lebih baik? Tidak juga sih.

“I know you ya, Sen. It’s not like kita baru kenal kemarin sore dan gue nggak tahu apa-apa soal lo. You’re not the kind of woman who give up easily, jadi buang jauh-jauh deh pikiran mau nyerah itu.”

“Talk is cheap.”

“Yeah I know, but you’re the one who told me that you love your job right? So stay at it for better or worse… at least until you found something’s better. I know it might sounds naïve but if you really love what you do, this problem is just a small piece of cake.”

 

Pada akhirnya saya mengangguk dan memutuskan untuk berusaha percaya bahwa jika saya benar-benar mencintai pekerjaan saya, maka masalah seperti ini hanya masalah kecil yang tidak ada apa-apanya untuk saya.

Sampai kapan?

Mungkin sampai saya menemukan penawaran yang lebih baik.

Mungkin sampai akhirnya lingkungan membuat saya menjadi seperti mereka.

Atau mungkin sampai saya benar-benar lelah dan mengibarkan bendera putih di atas meja kerja saya.

Sampai kapan pun itu, wish me luck ya guys!