“Kalau kita hidup di zaman pra kemerdekaan, kira-kira kita bakalan jadi pahlawan nggak ya?”
Pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang teman dalam sebuah perbincangan sore kamu. Waktu itu, saya tidak menanggapi pertanyaan teman saya tersebut dengan serius, saya malah membuat lelucon dari pertanyaan yang diajukan teman saya tersebut.
Sampai akhirnya semalam ketika saya tidak bisa tidur dan dunia maya dipenuhi euforia kemerdekaan, saya kembali kepikiran akan pertanyaan tersebut.
Akankah saya menjadi seorang pahlawan jika saya hidup di era pra kemerdekaan?
Jawaban pertama yang muncul di kepala saya adalah jawaban yang muncul dari idealisme saya, ‘iya’. Saya akan menjadi seorang pahlawan yang berada di barisan terdepan melawan penjajah, memimpin pasukan meski dalam keadaan sakit, atau setidaknya saya akan menjadi orang yang menyebarkan semangat kesetaraan gender seperti apa yang dilakukan Kartini dengan surat-suratnya.
Tapi realita menampar saya. Hati kecil saya menolak menyetujui bayangan tersebut. Jawaban yang jujur justru berbanding terbalik dengan jawaban ideal saya. Secara mengejutkan, ternyata lebih mudah bagi saya untuk membayangkan kehidupan warga kelas menengah yang pasrah, yang hanya mengharapkan kemerdekaan tapi tidak melakukan apa-apa untuk meraihnya. Atau bahkan jika saya beruntung, maka saya akan menjadi seorang anak ningrat yang sama sekali tidak peduli akan kemerdekaan, tidak mau berjuang meraih kemerdekaan, tapi justru teriak paling keras ketika kemerdekaan diumumkan hanya karena terbawa euforia dan tidak mau disebut tidak nasionalis.
Saya jadi berpikir, selama ini saya telah salah pengertian mengenai kemerdekaan. Suka atau tidak dan sadar maupun tidak, pemikiran saya akan kemerdekaan sangat dangkal. Selama ini saya berpikir bahwa Indonesia tidak perlu merdeka, pokoknya selama perut saya kenyang, hidup saya senang, dan banyak uang, semuanya akan baik-baik saja, merdeka atau tidak. Semangat ‘merdeka atau mati’ tentu saja tidak tumbuh dalam diri saya sedikit pun.
Semalam seorang teman mengatakan sesuatu yang (maaf sekali saya lupa kalimat persisnya) membuat saya berpikir ulang apakah sebagai warga negara Indonesia saya sudah menjalankan peran saya dengan baik dan apakah saya sudah cukup berprestasi dan menciptakan Indonesia yang lebih baik.
Jawabannya tidak. Saya tidak menjalankan peran saya sebagai warga dengan baik, tidak juga cukup berprestasi dan menciptakan Indonesia yang lebih baik.
Selama ini saya sibuk mengatai-ngatai, memarahi, mengeluh, dan memaki pemerintah yang tidak becus menjalankan tugasnya, padahal di luar kesadaran saya juga sebenarnya tidak becus menjalankan tugas dan peran saya sebagai warga negara.
Kemarin, dalam sebuah acara buka bersama, saya dan beberapa orang teman menyisakan makanan kami di piring dalam porsi yang cukup banyak, alasannya satu: bosan. Sementara saya sibuk setelah ini mau makan dimana lagi, seorang teman berinisiatif memanggil seorang anak kecil penjaja makanan dan memberikan makanan sisa kami untuk dimakan. Awalnya saya pikir itu adalah tindakan yang tidak sopan dan malah cenderung melecehkan, tapi ketika saya melihat ekspresi anak itu, saya berubah pikiran. Dari raut wajah anak itu saya menangkap satu hal yang jauh di luar dugaan saya: ekspresi kemerdekaan, merdeka dari rasa lapar dan ketakutan akan tidur dengan perut kosong.
Malamnya saya berbincang dengan sahabat saya mengenai kejadian tersebut. Sahabat saya menanggapi dengan kalimat yang berhasil membuat pola pikir saya berubah “menurut gue, apa yang lo lakuin itu salah satu bentuk prestasi. Prestasi ‘kan nggak selamanya harus sesuatu yang bersertifikat, berpiala, berpiagam, dan diakui aja, dengan lo bisa berbagi dengan orang yang sama sekali nggak lo kenal secara ikhlas juga udah bentuk dari prestasi. Prestasi yang cukup lo dan Tuhan yang tahu.”
Kalimat tersebut membawa saya pada definisi ulang kata prestasi.
Prestasi adalah ketika saya dapat membebaskan seseorang dari rasa lapar.
Prestasi adalah ketika saya dapat menerima perbedaan opini dan pandangan tanpa harus berakhir dengan tombol block atau rasa benci.
Prestasi adalah ketika saya dapat membebaskan seseorang menganut kepercayaannya, baik itu kepercayaan akan adanya Tuhan maupun kepercayaan akan tidak adanya Tuhan.
Prestasi adalah ketika saya dapat membebaskan seseorang untuk mengekspresikan dirinya tanpa harus menghakiminya setelah itu.
Prestasi adalah… ketika saya dapat membuat lingkungan sekitar saya merasa merdeka.
Maka secara otomatis pemikiran saya akan kemerdekaan pun berubah.
Merdeka di kepala saya tidak lagi sekedar perut kenyang, hidup senang, dan banyak uang. Dan YA, saya rasa Indonesia harus merdeka.
Meskipun semangat ‘merdeka atau mati’ belum benar-benar tumbuh dan berkembang, tapi setidaknya semangat tersebut sudah mulai muncul di hati saya. Maka pagi ini saya mengawali hari saya dengan semangat yang baru dan sebuah pertanyaan ‘apa lagi prestasi yang dapat saya lakukan untuk memerdekakan Indonesia?’.
Semoga semangat tersebut benar-benar semangat baru yang mengisi hidup saya, bukan hanya sebuah bentuk euforia terhadap hari kemerdekaan.
Tags: Thought
Recent Comments