Tag Archives: Thought

Random Thought On Working Hour

27 Nov

Two days ago I decided to left a note on tissue at one of my favorite coffee shop saying:

“After about 10 – 15 visits to this Sbucks, 5 missing drinks (which I never complained about those), I finally have my perfect extra dry cappuccino and raspberry americano on the rock today. Thanks :)”

Yesterday, when I came to that coffee shop again, all baristas there suddenly know my name.

I never thought they read my notes and (even better) put the tissue on their locker. It makes my week.

Now, Starbucks Grand Indonesia become my number one favorite Starbucks.

Kamu dan Jakarta

20 Jun

GambarI love Jakarta as much as I hate Jakarta.

Dan saya mengibaratkan kamu adalah Jakarta.

Saya membenci Jakarta. Jalanan yang tidak bersahabat, banjir setiap kali hujan, kriminalitas dimana-mana, hingga manusia-manusia judgmental yang lebih mempermasalahkan barang-barang palsu ketimbang kepribadian yang palsu.

Saya membenci Jakarta karena ketidakmampuannya memberikan keamanan bagi saya.

Saya membenci Jakarta sama seperti saya membenci kamu.

Tapi di sisi lain saya mencintai Jakarta.

Saya mencintai waktu terbuang sia-sia di tengah kemacetan Jakarta yang pada akhirnya membuat saya menghabiskan waktu berkualitas dengan diri saya.

Saya mencintai Jakarta sebab di tengah ketidakmampuannya memberikan rasa aman bagi saya, saya justru belajar untuk menjadi manusia yang lebih tangguh dan kuat.

Saya mencintai Jakarta karena Jakarta mengajarkan saya untuk selalu berusaha menjadi lebih baik lagi, tidak peduli sekeras apa realita menampar saya.

Saya mencintai Jakarta dan keberhasilannya memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi saya.

Saya mencintai Jakarta sebagaimana saya mencintai kamu.

Jakarta adalah kamu dan kamu adalah Jakarta.

Saya akan selalu mencintai kamu seperti saya mencintai Jakarta yang tidak akan pernah membalas cinta saya tidak peduli berapa besar rasa cinta saya.

I love you like I love Jakarta and I hate to admit the fact that both of you and Jakarta are always be the part of my life no matter what.

Suatu Saat Nanti

24 Jan

Saya lupa kapan terakhir kalinya saya memiliki me time yang berkualitas. Jadwal yang padat membuat saya lupa akan pentingnya menghabiskan waktu yang berkualitas dengan diri saya sendiri. Waktu berkualitas yang saya maksud adalah: memerhatikan lingkungan sekitar lebih banyak, berdiskusi dengan hati lebih dalam, dan mendengarkan kata hati lebih seksama.

Beberapa hari ini, Tuhan menganugrahi saya sakit supaya saya dapat menikmati waktu untuk diri saya sendiri. Di tengah kesendirian tersebut saya kembali mempertanyakan tentang diri saya, tentang hidup saya saat ini, dan tentang kehidupan yang ingin saya jalani suatu saat nanti.

Seorang teman pernah berkata bahwa saat ini saya hidup di sebuah kehidupan yang menurut masyarakat disebut sebagai good life. Bekerja di sebuah bank ternama dengan jalur karir fast track dan gaji yang lumayan… Di luaran sana, saya yakin ada begitu banyak orang yang menginginkan kehidupan yang saya jalani ini. Tapi pertanyaannya adalah: apakah kehidupan seperti ini yang benar-benar saya inginkan?

Saya tentu saja menggeleng akan pertanyaan tersebut. Bahkan jauh sebelum saya mengambil keputusan untuk bekerja di perusahaan tersebut pun saya sudah tahu pasti bahwa ini bukan kehidupan yang saya inginkan.

Lalu kehidupan seperti apa yang sebenarnya saya inginkan?

Pertanyaan tersebut membuat saya terdiam. Hati saya merasa ditampar karena di saat saya sibuk mengeluh soal kehidupan yang tidak sesuai keinginan saya, saya justru tidak tahu kehidupan seperti apa yang sebenarnya saya inginkan.

Mungkin saya sudah terlalu lama menutup diri dari kata hati saya sendiri sehingga pertanyaan sesederhana itu pun tidak bisa saya jawab.

Mungkin terlalu banyak ditampar oleh realita membuat hati saya tidak lagi memiliki nyali untuk mengatakan kejujuran.

Atau mungkin… Saya memang tidak pernah tahu kehidupan seperti apa yang saya inginkan.

Semalam saya membuat keputusan bahwa 5 tahun dari sekarang, saya harus sudah memperoleh jawaban akan kehidupan yang saya inginkan.

Suatu saat nanti….
5 tahun dari sekarang….
Ketika saya sudah tahu apa yang benar-benar saya inginkan, maka saya akan meninggalkan semua yang saya miliki saat ini

Suatu saat nanti…
5 tahun dari sekarang….
Saya mungkin tidak lagi memiliki apa yang saya miliki sekarang, tapi saya akan dengan bangga berkata ‘hey, I live a good life now’

Suatu saat nanti…
5 tahun dari sekarang…
Semoga masih ada cukup waktu dan kesempatan untuk saya

Jadi bagaimana dengan kamu?
Apakah sudah menjalani kehidupan yang kamu inginkan?

Coffee Shop

11 Aug

Kamu bisa menemukanku di sini. Sedang mengobrol dengan beberapa orang teman. Sesekali obrolan kami diselingi cibiran akan manusia-manusia di sekitar kami, sesekali obrolan kami diselingi celaan satu sama lain, dan maaf jika sesekali kami tak mampu menahan tawa kami hingga rasanya mengganggu tamu lain yang duduk di sekitar kami.

Kamu bisa menemukanku di sini. Sedang berdua dengan seorang teman perempuan. Terkadang kami hanya sekedar membuang waktu. Terkadang kami memang harus bertemu untuk kepentingan tertentu. Tapi seringnya kami bertemu untuk berbagi cerita. Cerita tentang apa yang menjadi passion kami, apa yang ingin kami lakukan, apa yang sudah kami lakukan, apa yang sedang terjadi dalam hidup kami, atau cerita mengenai apapun itu, bukan masalah apakah cerita kami penting atau tidak selama masih ada sesuatu yang bisa dibagi satu sama lain.

Kamu bisa menemukanku sedang berdua dengan seorang lelaki. Dari gelagat kami berdua kamu akan bisa menangkap bagaimana jenis hubungan kami. Jika kamu menangkap sedikit keintiman dalam pembicaraan maupun tingkah laku kami, mungkin kamu lalu akan bertanya kemana hubungan kami akan mengarah. Ah pertanyaan itu… Aku sendiri pun tidak pernah benar-benar yakin kemana akan kubawa hubungan yang sedang kujalani, sebab seperti yang selalu kamu bilang padaku, aku memiliki commitment issue.

Kamu bisa menemukanku di sini. Seorang diri. Mungkin aku sedang menunggu seseorang. Mungkin aku sedang berusaha fokus mengerjakan sesuatu. Atau mungkin aku memang hanya sedang ingin sendiri, menghabiskan me time sambil menulis, mencari ide, membaca buku, blog walking, atau sekedar sight seeing.

Apapun yang sedang aku lakukan dan dengan siapapun itu, kamu akan selalu bisa menemukanku di sini. Aku memang menghabiskan sebagian besar waktu luangku di sini. Aku bahkan menyediakan anggaran khusus untuk dihabiskan di tempat ini.

“Dasar kapitalis!” itu yang kamu bilang padaku.

Aku hanya tersenyum. Kapitalis memang sebagian dari imanku. Dan kamu memang tahu banyak tentangku.

Tapi tahukah kamu bahwa aku sangat mencintai tempat ini?

Tahukah kamu bahwa seburuk apapun moodku, aku akan merasa jauh lebih baik ketika aku memasuki tempat ini dan mencium aroma khasnya?

Tahukah kamu bahwa aku telah menjadikan tempat ini sebagai rumah keduaku, rumah tempat diriku merasa benar-benar diterima dan berpikir ‘semuanya akan baik-baik saja apapun yang terjadi’?

Tahukah kamu bahwa tempat ini menyimpan begitu banyak rahasia tentangku? Tentang waktu dimana aku menangis karenamu, tentang kesepian ketika aku terjebak di tengah keramaian, tentang hati yang menghangat setelah berbagi kebahagiaan dengan seorang asing, tentang perasaan ditemani ketika aku sedang sendiri, tentang ketakutanku yang aku tutupi dengan kenaifanku, tentang perjuanganku melawan monster di kepalaku, dan masih ada begitu banyak tentangku lagi yang tak akan pernah ada cukup waktu untuk diuraikan satu per satu.

Tahukah kamu bahwa aku sangat mencintai tempat ini melebihi rasa cintaku padamu dulu?

Dan terakhir, tahukah kamu bahwa aku masih menyimpan harapan itu? Harapan untuk bertemu kamu lagi suatu saat nanti, dengan keadaan satu sama lain yang lebih dewasa dan lebih baik, lalu kita saling menyapa dan kamu… Membuat aku jatuh cinta kembali di sini… Di kedai kopi ini.

image

Sebab jatuh cinta lagi denganmu di kedai kopi inj adalah impian termanis yang bisa kupikirkan.

Indonesia Merdeka

17 Aug

“Kalau kita hidup di zaman pra kemerdekaan, kira-kira kita bakalan jadi pahlawan nggak ya?”

Pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang teman dalam sebuah perbincangan sore kamu. Waktu itu, saya tidak menanggapi pertanyaan teman saya tersebut dengan serius, saya malah membuat lelucon dari pertanyaan yang diajukan teman saya tersebut.

Sampai akhirnya semalam ketika saya tidak bisa tidur dan dunia maya dipenuhi euforia kemerdekaan, saya kembali kepikiran akan pertanyaan tersebut.

Akankah saya menjadi seorang pahlawan jika saya hidup di era pra kemerdekaan?

Jawaban pertama yang muncul di kepala saya adalah jawaban yang muncul dari idealisme saya, ‘iya’. Saya akan menjadi seorang pahlawan yang berada di barisan terdepan melawan penjajah, memimpin pasukan meski dalam keadaan sakit, atau setidaknya saya akan menjadi orang yang menyebarkan semangat kesetaraan gender seperti apa yang dilakukan Kartini dengan surat-suratnya.

Tapi realita menampar saya. Hati kecil saya menolak menyetujui bayangan tersebut. Jawaban yang jujur justru berbanding terbalik dengan jawaban ideal saya. Secara mengejutkan, ternyata lebih mudah bagi saya untuk membayangkan kehidupan warga kelas menengah yang pasrah, yang hanya mengharapkan kemerdekaan tapi tidak melakukan apa-apa untuk meraihnya. Atau bahkan jika saya beruntung, maka saya akan menjadi seorang anak ningrat yang sama sekali tidak peduli akan kemerdekaan, tidak mau berjuang meraih kemerdekaan, tapi justru teriak paling keras ketika kemerdekaan diumumkan hanya karena terbawa euforia dan tidak mau disebut tidak nasionalis.

Saya jadi berpikir, selama ini saya telah salah pengertian mengenai kemerdekaan. Suka atau tidak dan sadar maupun tidak, pemikiran saya akan kemerdekaan sangat dangkal. Selama ini saya berpikir bahwa Indonesia tidak perlu merdeka, pokoknya selama perut saya kenyang, hidup saya senang, dan banyak uang, semuanya akan baik-baik saja, merdeka atau tidak. Semangat ‘merdeka atau mati’ tentu saja tidak tumbuh dalam diri saya sedikit pun.

Semalam seorang teman mengatakan sesuatu yang (maaf sekali saya lupa kalimat persisnya) membuat saya berpikir ulang apakah sebagai warga negara Indonesia saya sudah menjalankan peran saya dengan baik dan apakah saya sudah cukup berprestasi dan menciptakan Indonesia yang lebih baik.

Jawabannya tidak. Saya tidak menjalankan peran saya sebagai warga dengan baik, tidak juga cukup berprestasi dan menciptakan Indonesia yang lebih baik.

Selama ini saya sibuk mengatai-ngatai, memarahi, mengeluh, dan memaki pemerintah yang tidak becus menjalankan tugasnya, padahal di luar kesadaran saya juga sebenarnya tidak becus menjalankan tugas dan peran saya sebagai warga negara.

Kemarin, dalam sebuah acara buka bersama, saya dan beberapa orang teman menyisakan makanan kami di piring dalam porsi yang cukup banyak, alasannya satu: bosan. Sementara saya sibuk setelah ini mau makan dimana lagi, seorang teman berinisiatif memanggil seorang anak kecil penjaja makanan dan memberikan makanan sisa kami untuk dimakan. Awalnya saya pikir itu adalah tindakan yang tidak sopan dan malah cenderung melecehkan, tapi ketika saya melihat ekspresi anak itu, saya berubah pikiran. Dari raut wajah anak itu saya menangkap satu hal yang jauh di luar dugaan saya: ekspresi kemerdekaan, merdeka dari rasa lapar dan ketakutan akan tidur dengan perut kosong.

Malamnya saya berbincang dengan sahabat saya mengenai kejadian tersebut. Sahabat saya menanggapi dengan kalimat yang berhasil membuat pola pikir saya berubah “menurut gue, apa yang lo lakuin itu salah satu bentuk prestasi. Prestasi ‘kan nggak selamanya harus sesuatu yang bersertifikat, berpiala, berpiagam, dan diakui aja, dengan lo bisa berbagi dengan orang yang sama sekali nggak lo kenal secara ikhlas juga udah bentuk dari prestasi. Prestasi yang cukup lo dan Tuhan yang tahu.”

Kalimat tersebut membawa saya pada definisi ulang kata prestasi.

Prestasi adalah ketika saya dapat membebaskan seseorang dari rasa lapar.

Prestasi adalah ketika saya dapat menerima perbedaan opini dan pandangan tanpa harus berakhir dengan tombol block atau rasa benci.

Prestasi adalah ketika saya dapat membebaskan seseorang menganut kepercayaannya, baik itu kepercayaan akan adanya Tuhan maupun kepercayaan akan tidak adanya Tuhan.

Prestasi adalah ketika saya dapat membebaskan seseorang untuk mengekspresikan dirinya tanpa harus menghakiminya setelah itu.

Prestasi adalah… ketika saya dapat membuat lingkungan sekitar saya merasa merdeka.

Maka secara otomatis pemikiran saya akan kemerdekaan pun berubah.

Merdeka di kepala saya tidak lagi sekedar perut kenyang, hidup senang, dan banyak uang. Dan YA, saya rasa Indonesia harus merdeka.

Meskipun semangat ‘merdeka atau mati’ belum benar-benar tumbuh dan berkembang, tapi setidaknya semangat tersebut sudah mulai muncul di hati saya. Maka pagi ini saya mengawali hari saya dengan semangat yang baru dan sebuah pertanyaan ‘apa lagi prestasi yang dapat saya lakukan untuk memerdekakan Indonesia?’.

Semoga semangat tersebut benar-benar semangat baru yang mengisi hidup saya, bukan hanya sebuah bentuk euforia terhadap hari kemerdekaan.