Tag Archives: Friendship

Selagi Masih Ada Waktu

14 Aug

Hari Minggu adalah hari kesukaan saya. Ada begitu banyak hal yang menyenangkan dari hari Minggu: “pergerakannya” yanng terasa lebih lambat meski waktu yang dimiliki masih tetap 24 jam, keluarga yang berkumpul lengkap membuat saya benar-benar merasa suasana rumah, kolom kesukaan saya di salah satu koran nasional, hari libur yang dijadikan alasan untuk bangun siang oleh banyak orang, waktu yang tepat untuk berolahraga meski pada akhirnya tujuan beralih pada pencarian makanan…, ada begitu banyak hal yang saya cintai di hari Minggu.

Tapi hari Minggu ini berbeda. Kejadian yang baru saja terjadi Sabtu pagi kemarin dan ramai dibicarakan di Twitter membuat Minggu ini terasa sangat drama bagi saya. Kejadian tersebut mengingatkan saya akan dua hal: kematian dan kehilangan.

Kematian dan kehilangan…, setiap kali teringat akan hal tersebut saya teringat kembali akan kejadian beberapa tahun yang lalu. Dalam perjalanannya untuk menemui saya, seorang sahabat mengalami kejadian di jalan tol. Sahabat saya tersebut koma selama 3 hari hingga akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Tepat setelah kejadian tersebut, saya diserang oleh perasaan bersalah dan penyesalan. Sewaktu itu pemikiran seperti ‘seandainya saja saya tidak janji ketemuan dengan dia, dia tidak akan menyetir sendiri dan mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya’ menyerang kepala saya. Saya diserang oleh rasa kehilangan dan penyesalan yang membuat saya berharap melakukan hal yang tidak saya lakukan dan tidak melakukan hal yang saya lakukan agar saya tidak harus kehilangan sahabat saya.

Waktu itu saya masih SMA, masih sangat muda dan labil, jadi rasanya wajar saja kalau saya berharap saya dapat mengubah takdir. Pengalaman dan bertambahnya tingkat kedewasaan mengubah cara pandang saya akan kehidupan dan takdir. Saya belajar untuk menerima dan mengerti bahwa saya tidak akan pernah bisa mengingkari kematian, sesuatu yang memang sudah dijadwalkan olehNya. Sekalipun saat itu sahabat saya berdiam diri di rumah, tidak bahkan beranjak dari tempat tidurnya, sesuatu bisa saja terjadi dan mengambil nyawanya.

Hari ini, saya kembali berpikir dan mereview hidup saya.

Saya tidak pernah tahu apa yang Tuhan rencanakan untuk saya. Hidup tidak seperti pertandingan sepakbola dimana saya bisa mengetahui sisa waktu yang saya miliki.

Detiki ini saya bisa saja mengetik sesuatu, up date status di Twitter, bercanda dengan adik saya, menertawakan hal-hal yang lucu hingga menangis dan perut saya sakit, tapi lalu di detik selanjutnya Tuhan mengambil nyawa saya.

Saya tidak akan pernah tahu berapa lama lagi sisa waktu yang saya miliki di dunia ini, tapi saya sadar bahwa pada akhirnya yang menjadi inti dari semuanya bukanlah berapa banyak waktu yang saya miliki di dunia ini, tapi apa yang saya lakukan selama waktu tersebut berjalan.

Maka detik ini juga saya membuat perjanjian dengan diri saya.

Saya berjanji untuk lebih mensyrukuri apa yang saya miliki dalam hidup saya, meski saya tidak bisa mengingkari fakta bahwa masih ada beberapa ketidakpuasan yang saya rasakan.

Saya berjanji untuk lebih bertanggung jawab akan hidup saya, karena pada akhirnya sayalah orang satu-satunya yang bertugas untuk ‘menyetir’ hidup saya.

Saya berjanji untuk lebih sering menghabiskan waktu dengan orang-orang yang saya sayangi dan yang menyayangi saya.

Saya berjanji untuk berbuat lebih baik dan lebih banyak lagi bukan hanya untuk diri saya sendiri, tapi juga untuk lingkungan sekitar saya.

Saya berjanji akan melakukan yang terbaik. Selagi masih ada waktu. Selama saya masih mampu.

A Friend Indeed

2 Jun

Terkadang yang kita butuhkan hanyalah seseorang

Seseorang yang bersedia mendengarkan tanpa berkata sepatah kata pun, hanya untuk membuat kita merasa lebih baik,

Seseorang yang akan meyakinkan diri kita bahwa kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, meskipun keinginan tersebut terlihat terlalu tinggi dan mengawang-awang,

Seseorang yang percaya akan potensi kita, bahkan di saat kita sendiri pun ragu akan hal itu,

Seseorang yang akan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja setiap kali rasa takut, cemas, gelisah, dan hal buruk sedang menyerang

Seseorang yang selalu berada di sebelah kita, meskipun tidak secara fisik, baik dalam susah mau pun senang

Seseorang yang membuat kita merasa bebas untuk mengungkapkan segala hal, termasuk sisi paling buruk dalam diri kita tanpa takut akan dihakimi setelahnya

Seseorang yang akan menerima kita apa adanya

Saya mendefinisikan seseorang tersebut sebagai seorang teman baik, a friend in need is a friend indeed. Ada kurang lebih 9,3 miliar manusia di dunia ini, tapi sangat sulit untuk mendapatkan seseorang seperti itu. Untungnya, saya sudah menemukan seseorang tersebut.

Terima kasih karena telah menjadi seseorang tersebut selama beberapa tahun terakhir. Semoga rantai persahabatan ini tidak akan pernah putus. Happy birthday, besta’!

P.S. Ditulis sebagai hadiah ulang tahun untuk seorang sahabat

Day 7: Anomali Kesepian

10 Aug

Bisakah seseorang merasa begitu kesepian ketika sedang ditemani dan merasa ditemani justru ketika sedang sendirian?

Pertanyaan itu terbersit di kepala saya beberapa bulan yang lalu. Entah apa yang membuat saya pertama kali berpikir seperti itu, tapi yang jelas pertanyaan itu lumayan mengganggu konsentrasi saya. Dalam sebuah perbincangan makan siang dengan seorang teman, saya pun mulai mengangkat topik ini. Menurut teman saya, rasanya tidak mungkin seseorang akan merasa kesepian ketika dia sedang bersama dengan temannya dan justru merasa ditemani ketika sedang sendirian. Ketika saya bertanya kenapa tidak mungkin, teman saya ini menjawab bahwa dari segi logika jelas saja tidak logis.

Pertanyaan selanjutnya yang saya ajukan kepada teman saya adalah kenapa kesepian selalu diasosiasikan dengan sendirian? Bukankah dari segi definisi saja sudah terdpat perbedaan antara kesepian dan sendirian, dimana kesepian adalah keadaan jiwa yang merasa hampa atau kosong, dan tidak mendapatkan kepuasan dalam hubungan sosialnya, sementara sendiri berarti keadaan dimana seseorang sedang tidak bersama siapa pun. Terdapat perbedaan konsep antara sendiri dan kesepian, dimana konsep sendiri adalah kuantitas dan konsep kesepian adalah kualitas.

Teman saya pun menjawab bahwa seseorang akan merasa kesepian jika dia sedang sendiri, jadi dari segi teori, kesepian dan sendiri, meskipun memiliki perbedaan konsep yang begitu jelas, tetap saja tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Mendengar jawaban teman saya tersebut, saya memutuskan untuk diam dan mengakhiri topik pembicaraan mengenai kesepian ini, meskipun ada bagian dari diri saya yang mengelak untuk menyetujui pendapat teman saya itu.

Beberapa hari yang lalu, sebuah pengalaman pribadi menjawab pertanyaan tersebut. Sebuah anomali kesepian, begitu kata Zhe, sahabat saya, terjadi pada saya.

Jadi ceritanya beberapa hari yang lalu saya menghadiri pesta ulang tahun seorang teman. Pesta kecil-kecilan yang hanya dihadiri oleh teman-teman dekat saja dimana semua undangan saya kenal dengan baik. Dalam keadaan normal, saya akan merasa sangat akrab dengan kumpulan undangan tersebut, tapi sepertinya malam itu ada sesuatu yang salah pada diri saya. Di tengah sekelompok orang yang saya kenal dengan baik saya justru merasa kesepian. Saya memang masih bisa tertawa bersama mereka, berkomunikasi dengan baik bersama mereka, tapi hati kecil saya tetap merasa kesepian. Perasaan saya merasa kosong.

Besoknya, putus asa karena rasa kesepian yang melanda semalam, saya memutuskan untuk menghabiskan waktu saya sendirian. Me time di sebuah coffee shop yang terletak di sebuah mall yang memang selalu ramai.

Memang tidak banyak yang bisa dilakukan ketika sedang sendirian, tapi justru itulah bagian kesukaan saya, ketika tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan, saya lebih leluasa untuk berpikir mengenai begitu banyak hal secara random.

Saya melihat ke sekeliling saya, mata saya bertemu dengan mata seorang barista yang sebelumnya melayani saya, berhubung saya memang rutin mengunjungi tempat itu dan memesan menu yang sama, tidak heran dia mengenal saya meskipun tidak secara harfiah, barista itu tersenyum pada saya, membuat saya merasa seperti sedang ditemani oleh seorang teman lama. Pemandangan kedua yang saya tangkap adalah sepasang kekasih yang berjalan melewati coffee shop tempat saya berada, mereka bergandengan dan mengobrol, sesekali obrolan mereka diselipi tawa, meskipun hanya sekilas, tapi melihat pasangan kekasih tersebut membuat saya merasa nyaman. Pemandangan saya selanjutnya adalah 4 orang wanita berpakaian kerja yang duduk tak jauh dari tempat saya duduk. Mereka terlihat akrab dengan obrolan yang tidak bisa saya dengar dari tempat saya duduk, melihat pemandangan tersebut membuat hati saya menghangat.

Lalu perasaan itu pun muncul. Di tengah kesendirian saya sore itu, saya justru merasa seperti sedang berada di tempat yang sangat familiar ditemani oleh sekelompok teman akrab yang membuat keadaan seburuk apa pun terlihat seperti baik-baik saja. Saya merasa seperti sedang berada di… rumah, tempat dimana saya selalu merasa nyaman, a place where my heart belong to.

Sore itu, pertanyaan saya beberapa bulan terjawab dengan memuaskan karena saya dipaksa untuk mengalaminya sendiri. Dari pengalaman tersebut saya belajar bahwa bahkan orang terdekat pun bisa membuat saya kesepian, dan sebaliknya, justru seseorang yang benar-benar asing bisa membuat kita merasa ditemani.

Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu pernah mengalami sebuah anomali kesepian? Tell me, plase!

P.S. Gambar diperoleh dari gettyimages

On Time

19 Jun

Katanya, untuk bisa menjadi seseorang yang sukses, maka seseorang harus memiliki komitmen terhadap dunianya. Membangun sebuah komitmen terhadap segala hal yang dilakukannya, sekecil apa pun hal tersebut. Komitmen terhadap segala jenis hubungan yang sedang dijalani, mulai dari hubungan profesional hingga hubungan yang sifatnya pribadi.

Kali ini saya ingin membahas mengenai wujud paling sederhana dari sebuah komitmen. Sebuah wujud komitmen yang seringkali terlupakan. On time.

Wujud paling sederhana dari sebuah komitmen adalah dengan datang on time pada setiap janji pertemuan yang dilakukan. Well, sesekali datang terlambat untuk alasan yang rasional bisa termaafkan. Seseorang yang datang on time akan memberikan kesan bahwa dia menghargai orang lain yang menunggunya dan dapat dipercaya. Sebaliknya, seseorang yang sering datang terlambat, meski pada sebuah acara yang sifatnya informal sekalipun, menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki kecenderungan tidak menghargai orang lain, menyepelekan hubungannya dengan orang lain, dan tidak bisa memegang janjinya sendiri.

Beberapa hari yang lalu saya dihadapkan pada sebuah pengalaman yang kurang menyenangkan mengenai masalah on time. Jadi ceritanya, saya dan seorang teman lama saya janjian di sebuah mall pada jam tertentu. Setelah saya dibuat menunggu selama hampir 1 jam, sang teman lama mengabarkan kalau dia tidak bisa datang. Biasanya, saya memberikan toleransi untuk kebiasaan buruk teman saya ini, memaafkannya dan mencoba untuk mengerti bahwa mungkin ada urusan lain yang lebih penting ketimbang saya sehingga dia terpaksa membuat saya menunggu untuk akhirnya menerima jawaban tidak.

Tapi kali ini berbeda. Saya sedang berada di titik dimana saya lelah menghadapi kebiasaan buruk teman saya ini. Saya sedang berada pada puncak kejenuhan saya menghadapi kecenderungan teman saya menganggap remeh hubungannya dengan saya, meskipun kami hanya sebatas teman, bukan sahabat apalagi pacar.

Mungkin saya yang sedang over sensitive. Mungkin juga saya terlalu mengambil pusing masalah ini. Tapi yang jelas, sejak kejadian itu, saya mulai mempertimbangkan kembali hubungan saya dengan teman saya tersebut.

Saya mulai mempertanyakan kembali apakah setiap hal yang selama ini saya lakukan untuknya worthed atau tidak. Ya… ya…, saya tahu memang tidak seharusnya saya menghitung setiap hal yang saya lakukan kepada orang lain, tapi bukankah manusia merupakan makhluk yang kalkulatif sehingga kecenderungan untuk menghitung baik secara ekonomis, statistik, atau matematis selalu ada?

Saya mulai mempertanyakan kembali seperti apa posisi saya di mata dia. Kebiasaannya membatalkan janji tiba-tiba dan datang terlambat membuat saya mengambil kesimpulan bahwa saya tidak cukup berharga di matanya. Segitu tidak berharganya hingga saya tidak layak mendapat komitmen dalam hubungan pertemanan kami darinya.

Okay… saya tahu menulis dalam keadaan emosional seperti sekarang ini memang tidak pernah baik untuk saya. Tapi kali ini saya ingin mengingatkan saja kepada kamu—siapa pun yang saat ini sedang membaca tulisan ini, bahwa ketepatan waktu bisa memberikan efek yang sangat fatal untuk kamu. Seseorang bisa saja menoleransi keterlambatan kamu, tapi semakin tinggi frekuensi keterlambatan kamu, bisa membuat seseorang mengambil kesimpulan mengenai seberapa besar kualitas komitmen yang kamu miliki terhadap orang (atau hal) tersebut.

P.S. Gambar diambil dari sini!

Talk About… (You Know What!)

31 Mar

“Sen, lo tahu nggak sih kalo dia itu lesbi?”

“Tahu, terus kenapa?”

“Kok lo mau sih jalan terus sama dia?”

“Emangnya kenapa? Apa ada aturannya kalo gue nggak boleh jalan sama lesbian?”

“Lo lesbi juga?”

“Sialan! Nggaklah, masih napsu gue sama laki, tapi bukan berarti gue nggak boleh jalan sama lesbi juga ‘kan?”

“Iya sih tapi…”

“Kenapa sih? Emang ada yang salah?”

“Emangnya lo nggak takut?”

“Emangnya dia itu psikopat sampai gue harus takut sama dia?”

“Maksud gue… emang lo nggak takut ketularan?”

Pertanyaan (atau lebih tepatnya pernyataan) yang keluar dari seorang teman dekat sekaligus rekan kerja saya sukses membuat saya marah. Nggak takut ketularan katanya? Memangnya lesbian itu sejenis flu babi yang membuat saya terpaksa memutuskan kontak apapun dengan pengidapnya? Memangnya lesbian itu penyakit?

Memangnya kenapa kalau saya yang heteroseksual bersahabat dengan seseorang yang homoseksual, terutama lesbian? Memangnya mentang-mentang saya heteroseksual dan teman saya itu homoseksual lantas saya dan dia harus berada di dua dunia yang berbeda?

Saya bingung di era yang serba modern dimana hampir segala hal bisa didapatkan cukup dengan mengetukkan jari di mouse masih saja ada orang yang menilai orang lain hanya berdasarkan orientasi seksualnya saja.

Sudah saatnya seseorang dinilai berdasarkan sikap dan prilakunya BUKAN berdasarkan orientasi seksualnya. Kalo urusan dosa, saya rasa biarkan itu menjadi urusan orang itu dengan Tuhan saja, lagian yang namanya dosa itu ‘kan bisa dibuat oleh siapa pun, tidak peduli kamu hetero atau homo. Lah yang heteroseksual aja banyak yang hobi bikin dosa, jadi nggak usah deh sok-sokan menjadi suci dan nggak pernah bikin dosa hanya karena kamu seorang heteroseksual.

Oh ya, dan ini sedikit catatan kecil saja untuk kamu ya! Being gay does not define who they are, what is inside them is the most important thing.