Tag Archives: movie

Day 15: Bertemu Malaikat Pencabut Nyawa

19 Aug

Bagaimana ya rasanya mengetahui bahwa kita akan mati dalam waktu yang sudah pasti dan kehidupan kita diikuti oleh seorang malaikat pencabut nyawa?

Kamu pernah menonton Meet Joe Black? Film yang diperankan oleh Brad Pitt itu sukses membuat saya bertanya-tanya bagaimana rasanya jika saya adalah William Parish, seseorang yang hidupnya tiba-tiba didatangi seorang malaikat pencabut nyawa yang memang akan menjemput nyawanya. Jika dalam film ini William Parish berhasil membuat negosiasi dengan malaikat pencabut nyawa dimana William Parish bisa mendapatkan waktu lebih dan sang malaikat yang menyamar menjadi Joe Black bisa merasakan kehidupan dalam artian yang sebenarnya, tentu saja di dunia nyata kita tidak akan pernah bisa berkompromi dengan waktu kematian. Ketika malaikat pencabut nyawa datang, maka saat itulah nyawa kita akan berakhir.

Apakah kematian akan terasa lebih baik jika saya mengetahui kapan saya akan mati?

Saya tidak tahu. Saya rasa siapa juga yang akan tahu bagaimana rasanya mati kecuali orang yang sudah mati ‘kan? Dan tidak mungkin seseorang yang sudah mati bisa membuat blog dan bercerita tentang bagaimana rasanya mati dan apakah segalanya akan lebih baik jika tanggal kematian diketahui dengan pasti.

Kalau begitu pertanyannya adalah apakah detik-detik terakhir kehidupan akan terasa lebih baik jika tanggal kematian diketahui?

Tadinya saya pikir begitu. Setidaknya kalau saya tahu kapan saya akan mati, saya bisa memperbaiki semua kesalahan saya, memperbaiki keadaan, membayar hutang-hutang saya, menepati janji saya, dan tentunya meninggalkan pesan untuk keluarga dan teman saya.

Tapi saya berubah pikiran ketika seorang teman menyatakan bahwa lebih baik dia tidak pernah mengetahui kapan dia akan mati. Katanya, kematian itu seharusnya menjadi misteri yang akan terpecahkan pada saatnya nanti. Hidup itu cuma sekali dan untuk dinikmati, rasanya akan menjadi sangat sulit untuk menikmati hidup ketika mengetahui kapan akan mati. Bukannya membuat kehidupan terasa lebih baik, tapi justru kita akan terbebani oleh pemikiran tentang betapa sedikitnya sisa waktu yang kita punya.

“Beberapa hal memang perlu menjadi rahasia agar kita bisa lebih menikmati hidup. The less you know, happier you are.”

Jadi kalau pertanyaan akan maukah saya menjadi seorang William Parish dalam film Meet Joe Black muncul lagi, saya akan menggelengkan kepala saya dan mengatakan tidak. Biarkanlah kematian menjadi sesuatu yang rahasia. Untuk saat ini, saya lebih memilih untuk melupakan soal kematian, menikmati hidup, dan berusaha keras tetap pada jalurNya.

Bagaimana dengan kamu? Maukah kamu bertemu dengan malaikat pencabut nyawa seperti William Parish?

Ngomongin Tuhan

10 Jan

Jadi ceritanya semalam saya nggak sengaja menemukan Bruce Almighty diputar di salah satu station televisi. Sebenarnya sih waktu film ini lagi booming-boomingnya dengan segala kontroversi yang ada, saya sudah pernah nonton, tapi nonton yang kedua kalinya ini bikin saya berpikiran akan sesuatu.

Nggak. Saya nggak akan ngebahas soal kenapa harus sosok Morgan Freeman yang lelaki, tua, bertampang biasa saja, dan kulit hitam harus berperan sebagai Tuhan. Saya juga nggak akan ngebahas soal sifat Tuhan yang digambarkan sangat santai di film tersebut. Saya nggak sereligius itu untuk membicarakan soal sosok Tuhan lho.

Saya cuma sedang berpikir bagaimana yah rasanya menjadi Tuhan?

Hal pertama yang ada di pikiran saya tentunya hal-hal yang menyenangkan. Saya tidak harus bangun pagi untuk mengejar waktu supaya tidak terlambat kerja atau kuliah. Saya tidak harus bekerja mati-matian untuk memenuhi kebutuhan saya. Saya tidak harus menabung untuk membeli barang-barang yang saya inginkan yang kebetulan harganya mahal. Saya tidak harus berolahraga dan mengatur pola makan untuk menjaga bentuk tubuh saya. Saya tidak harus menemui lelaki-lelaki yang salah untuk akhirnya mendapatkan pasangan yang tepat. Dan pastinya saya bisa menentukan nasib orang lain dan nasib saya sendiri seenak jidat saya. Oh, kalau saya menjadi Tuhan, tentunya kehidupan saya akan terasa sangat mudah.

Saya… saya…, dan saya. Kalau saya menjadi Tuhan saya pasti akan menjadi sangat egois.

Tapi lalu saya berpikir, saya ini ‘kan Tuhan, jadi saya tidak boleh egois dong. Saya harus mulai memikirkan orang lain, bukan hanya yang saya kenal atau saya sukai saja, tapi mereka yang sama sekali tidak saya kenal dan untuk alasan tertentu (atau bahkan tanpa alasan) tidak saya sukai.

Jadi kalau saya itu Tuhan, saya harus mendengarkan doa-doa mereka, mulai dari doa nggak penting seperti “Oh Tuhan, tolong musnahkan jerawat-jerawat di muka saya ini” hingga doa yang sangat mulia seperti “Tuhan, hentikanlah perang, ciptakanlah kedamaian di muka bumi ini, dan jadikanlah semua orang di dunia ini sebagai orang yang berbahagia, tidak licik, beriman, rajin menabung, dan taat membayar pajak”. Lalu setelah mendengar doa-doa tersebut, saya harus menentukan skala prioritas, mana doa yang akan saya kabulkan pertama kali dan mana doa yang (mungkin) tidak akan pernah saya kabulkan. Duh, membahas soal hal ini saja bahkan membuat kepala saya pusing. Jangankan mendengar doa dan menentukan skala prioritas dari sekian banyak umat manusia, kalau dihadapkan pada mendengarkan curhatan beberapa orang teman dan harus menentukan skala prioritas terhadap teman saya saja saya sudah kesulitan. Belum lagi kalau saya lagi nggak mood untuk mendengarkan ocehan dari siapa pun, bahkan dari orang terdekat saya.

Kalau saya jadi Tuhan, itu artinya saya juga harus siap berada di posisi salah, meskipun saya tidak salah. Saya tahu di luaran sana banyak sekali orang-orang yang bernasib buruk, lalu bukannya berusaha untuk mengubah nasibnya, orang tersebut malah menyalahkan Tuhan. Tuhan yang jahat. Tuhan yang tidak adil. Tuhan yang kejam. Tuhan yang pilih kasih. Tuhan yang… (silakan tambahkan sendiri!). Iya, saya juga pernah menyalahkan Tuhan untuk keapesan saya. Memikirkan tentang hal ini membuat perut saya mules. Jangankan berlapang dada menghadapi orang-orang yang menyalahkan saya atas sesuatu yang bukan kesalahan saya, terkadang (atau bahkan sering) kalau saya dihadapkan di situasi dimana saya salah dan orang menyalahkan saya saja, saya masih tidak bisa terima.

Dua alasan saja sudah cukup membuat saya berpikir ulang untuk menjadi Tuhan. Di sini flash back pun dimulai. Saya mulai mereview satu per satu pengalaman yang bisa saya ingat sebagai manusia.

Saya ingat gimana rasanya harus bangun pagi dan masih kesiangan juga, berlari dan berharap jalanan tidak macet supaya saya tidak terlambat, dan merasa sangat lega ketika ternyata saya datang sangat on time.

Saya ingat gimana rasanya mendapatkan gaji pertama dari hasil kerja keras saya sendiri.

Saya ingat gimana rasanya menabung mati-matian, menolak segala macam bentuk tawaran untuk hang out bersama teman-teman, hingga akhirnya saya bisa membeli barang-barang yang saya inginkan, yang harganya memang lumayan mahal untuk standar saya.

Saya ingat gimana rasanya menemui orang yang salah, patah hati, nangis, sedih, menjadi drama queen, lalu bertemu dengan orang lain dan siklus pun berulang.

Saya ingat ada begitu banyak emosi yang mewarnai kehidupan saya sepanjang saya menjadi manusia. Marah, kesal, sedih, cemburu, senang, kecewa, blablabla yadaa yadaa.

Dari situ saya menyadari bahwa bukan kehidupan yang serba mudahlah yang saya inginkan. Hidup justru akan terasa sangat membosankan dan tidak menantang untuk saya kalau saya bisa melakukan apa pun yang saya mau dan memiliki pilihan yang tidak terbatas tanpa harus menyesali pilihan-pilihan saya di masa lalu.

Ternyata selama ini saya telah mis persepsi terhadap keinginan saya sendiri. Bukan hidup yang serba mudahlah yang saya inginkan. Justru hidup saya yang seperti ini adalah hidup yang telah menjadi keinginan saya. Hidup yang terkadang mudah dilalui tapi terkadang sangat sulit. Hidup yang bisa saya cintai dengan mudah tapi terkadang membuat saya harus usaha ekstra untuk bisa mencintainya. Hidup yang dipenuhi oleh emosi yang sangat fluktuatif.

Ya… ya…, pada akhirnya saya mulai berpikir apa yang dibicarakan sebagian besar orang itu benar. Tuhan tidak pernah memberi apa yang kita mau, tapi dia memberi apa yang kita butuh.