Dear you,
Iya… kamu…
Kamu yang menyita pikiranku akhir-akhir ini, membuat semua fokus teralihkan hanya pada kamu. Kamu yang sempat mengembalikan kepercayaanku pada eksistensi cinta, komitmen, dan pengorbanan. Kamu yang akhirnya menyadarkanku bahwa menjadi makhluk independent terkadang merugikan karena toh pada akhirnya setiap orang (termasuk aku) membutuhkan eksistensi orang lain untuk saling menguatkan atau bahkan cuma sekedar berbagi cerita. Kamu yang sempat memberikan sedikit pencerahan dan kebahagiaan.
Tapi kamu juga temporary. Begitu cepatnya perkenalan mungkin menjadi salah satu alasan kenapa hubungan kita berkesan seperti hubungan instan dan singkat.
Kamu juga membuatku sedih. Membuat aku yang kuat terlihat sangat lemah. Lemah selemah-lemahnya karena kamu berhasil membuat aku menangis, sedih, bahkan hingga sakit.
Dan lalu, dalam hitungan sesingkat perkenalan kita, kamu juga mengubah ketulusan-ketulusanku dalam berbuat menjadi suatu pertanyaan besar. Pertanyaan haruskah aku terus bersikap tulus jika pada akhirnya yang kudapatkan hanya rasa saki. Dan bahkan pertanyaan mengenai eksistensi ketulusan itu sendiri.
Hari ini, entah kenapa aku tidak lagi bisa mengalihkan pikiranku dari kamu. Sementara deadline semakin menipis dan tugas yang harus kukerjakan semakin banyak. Sementara masih ada begitu banyak hal yang harusnya kufokuskan. Kamu tetap tidak bisa beranjak dari pikiranku. Membuat semua yang penting mendadak menjadi tidak penting.
Lalu aku mulai berusaha dengan segala cara untuk menghilangkan fokus ini. Lari keliling lapangan yang pada akhirnya membuat badanku yang sedang kurang sehat menjadi semakin sakit karena aku terlalu lelah. Menelepon beberapa orang teman, berbicara ngalor ngidul tentang kehidupan yang semakin lama terasa semakin kompleks. Menyanyikan lagu-lagu Alanis Morisette. Membaca buku. Menonton film-film drama komedi. Minum kopi. Bahkan sampai mempelajari begitu banyak hal baru. Dan tebak… semuanya itu malah membuatku semakin ingat kamu.
Ternyata kehilangan kamu tidak semudah yang kupikirkan sebelumnya. Kehilangan kamu benar-benar membuatku merasa sakit, capek, lelah, bosan, dan masih banyak lagi emosi lainnya yang membanjiri perasaan ini hingga akhirnya terkumpul menjadi sebuah perasaan yang kusebut: nggak karuan.
Tanpa bermaksud mengingkari atau menyesali kenyataan, tapi hari ini aku benar-benar berharap waktu itu aku tidak ikut dengan temanmu ke sebuah tempat pertemuan kita pertama kali, berharap aku menolak permintaannya untuk nitip transferan, berharap ATM tidak penuh, harapan-harapan yang jika terjadi maka akan membatalkan pertemuan kita.
Lalu jika memang kita harus bertemu, salahkah aku jika aku berharap untuk tidak membicarakan pekerjaan sama sekali. Tidak menjanjikan untuk mencarikan pekerjaan. Tidak memberikan nomor teleponku. Tidak membalas semua sms-sms mu.
Tapi semua itu hanya harapa. Harapan yang malah membuatku semakin sakit.
Hari ini aku benar-benar ingin berbicara semuanya padamu. Berbicara tentang perasaanku. Tapi aku tahu aku takkan mampu mengungkapkan semuanya padamu, maka aku mulai menulis di sini, sebuah media yang mungkin akan berkesan over expose tapi aku tidak tahu lagi bagaimana caranya agar mungkin di satu masa,kamu membaca dan mulai mengerti semua perasaanku.
Kamu membuatku sakit. Sakit sesakit-sakitnya. Bahkan sakit di dada ini, serangan jantung ini sama sekali tidak berarti dibandingkan rasa sakit di hatiku.
Kamu melukaiku dengan ketidakkonsistenanmu. Meski aku tahu pasti kamu memang bukan tipikal manusia yang konsisten, tapi aku benar-benar tidak menyangka dengan perubahanmu yang drastis. Aku jelas tidak dipersiapkan menghadapi sikapmu yang tidak konsisten.
Kamu melukaiku dengan caramu meminta kesempatan kedua padaku. Dengan janjimu untuk berusaha bersikap konsisten tapi lalu yang kulihat kamu hanya berusaha selama 2 hari, setelah itu kamu benar-benar berubah. Bukankah sudah kuingatkan untuk melepasku jika kamu memang tidak bisa konsisten? Bukankah aku sudah sangat meminta untuk menghentikan semuanya karena ketidakkonsistenanmu hanya akan melukaiku?
Kamu melukaiku dengan pikiranmu tentang kamu yang tidak bisa mengimbangi aku, meskipun aku tidak pernah memiilih untuk hidup dalam kehidupanku yang sekarang ini.
Kamu melukaiku dengan ketakutanmu akan aku yang akan mengikatmu. Padahal jika kamu mau mendengarkan sekali saja perkataanku, aku bukanlah tipe orang yang suka mengikat dan terikat.
Kamu melukaiku dengan kebiasaanmu melupakan janji yang kau buat sendiri untukku. Janji-janji kosong yang sekarang kupikir hanya sebuah lips service untuk membuatku merasa tenang tapi pada akhirnya malah melukaiku.
Kamu melukaiku dengan segala keraguanmu. Keraguan yang tanpa harus kujelaskan, aku yakin kamu sudah tahu pasti apa maksudku.
Dan terakhir, kamu melukaiku dengan sikapmu yang tidak tegas dan terkesan menutup-nutupi sesuatu dariku.
Aku hanya ingin kamu tahu semuanya…
And it’s raining hard outside just like what I feel
Tags: curhat, Guy, Love shit!
Recent Comments